“Apa Lu Mau, Gue Ada!”

Sebagai jantung kehidupan negara, Jakarta berperan penting dalam perputaran roda perekonomian Indonesia melalui aktivitas perniagaan di pasar-pasarnya. Aktivitas berdagang sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat Indonesia sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda di Batavia. Bahkan, berdagang telah menjadi salah satu mata pencaharian bagi penduduk lokal maupun pendatang di negeri ini.

Selain etnis Tionghoa yang sudah terkenal akan kepiawaiannya dalam berdagang, ada juga etnis Minangkabau, Arab dan India yang juga mengadu nasib di pasar-pasar Jakarta. Meskipun pasar-pasar modern terus mengalami perkembangan, masih banyak pasar tradisional di Jakarta yang tetap bertahan hingga saat ini.


• Pasar Rawa Belong

Rangkaian bunga berwarna-warni kerap dijadikan sarana untuk menyampaikan ungkapan kasih sayang. Menjejaki pasar Rawa Belong di daerah Palmerah, Jakarta Barat, Travelers akan merasa seperti berada di taman bunga. Begitu memasuki kawasan Rawa Belong, Travelers akan langsung disambut oleh aroma bunga yang semerbak. Tata letak pasarnya yang cukup rapi akan memudahkan pembeli untuk mendapatkan bunga segar yang diinginkan.

Beragam jenis bunga bisa Travelers dapatkan di sini, seperti bunga anggrek, mawar, sedap malam, baby breath, aster, peacock dan lainnya. Selain bunga lokal dari Sukabumi, Bandung maupun Sumatra, Pasar Rawa Belong pun menyediakan bunga impor dari luar negeri seperti tulip dan mawar hitam yang dapat dipesan terlebih dahulu sebelumnya.

Buka 24 jam setiap harinya, Pasar Rawa Belong sendiri terkenal di antara masyarakat Jakarta karena harga bunga-bunganya yang relatif murah dan menguntungkan bagi para pengecer. Selain bunga ikat dan bunga potong, Pasar Rawa Belong juga menawarkan papan bunga dan rangkaian bunga.

Beberapa penjual bunga juga menawarkan jasa dekorasi bunga untuk acara pernikahan, pesta ulang tahun dan pesta lainnya. Turut menjual aksesoris pelengkap dekorasi bunga seperti pot, ranting dan pagar penghias, Rawa Belong wajib didatangi Travelers yang ingin mendapatkan segala kebutuhan bunganya di satu lokasi.


• Pasar Tanah Abang

Pelanggan sedang memilih berbagai macam kain yang penuh corak dan warna pada salah satu kios di Pasar Tanah Abang, Jakarta

Pasar Tanah Abang

Dahulu, pasar ini didirikan khusus untuk berjualan perlengkapan tekstil maupun kelontong dan buka di setiap hari Sabtu saja. Semenjak didirikannya Stasiun Tanah Abang yang berjarak tidak jauh dari pasar tersebut, Pasar Tanah Abang berkembang semakin pesat. Dukungan jalur transportasi tersebut memudahkan para pedagang maupun pembeli dari luar kota, khususnya Jabodetabek, yang memanfaatkan kereta api sebagai transportasi utama.

Saat ini Pasar Tanah Abang merupakan salah satu pusat grosir terbesar di Indonesia yang selalu ramai akan pedagang maupun pembeli. Walaupun masih didominasi penjualan tekstil, pasar ini pun turut menjual barang-barang lainnya seperti pakaian, aksesoris, perlengkapan bayi dan perlengkapan rumah. Harga yang ditawarkan pun beragam, namun biasanya tetap lebih murah dibandingkan pasar lainnya.

Selain itu, pembeli di pasar ini bisa mendapatkan barang-barangnya dengan harga grosir, sehingga Pasar Tanah Abang telah menjadi bagian dari komoditas ekspor ke luar negeri. Fasilitas yang disediakan pun sudah cukup lengkap seperti lift, food court, escalator, masjid dan area parkir yang menjamin kenyamanan para pelanggan.


• Pasar Kue Subuh Senen

Pasar Kue Subuh Senen, Jakarta

Pasar Kue Subuh Senen

Apakah Travelers pernah mendengar tentang Pasar Kue Subuh di Jakarta? Pasar Kue Subuh di Jakarta berada di Senen, Blok M dan Bintaro. Sudah berdiri di Jl. Senen, Jakarta Pusat, dari tahun 1988, pasar kue subuh Senen menjajakan ratusan lapak kue basah, brownies, kue kering hingga kue tart.

Aneka kue ditawarkan dengan berbagai macam rasa, bentuk dan warna yang menggugah selera para pembeli. Jajanan pasar seperti lemper, lapis legit, klepon, wajik, pastel, lontong, risoles juga bisa Travelers dapatkan mulai dari harga Rp2.000. Selain jajanan pasar dan kue basah, Travelers juga bisa mendapatkan snack ringan seperti kerupuk dan keripik.

Buka dari pukul 21:30 WIB, pasar ini pun menjual kue dengan harga eceran maupun grosiran. Uniknya, pembeli juga bisa mencicipi terlebih dahulu kue-kue yang ada sebelum dibeli. Jika Travelers membeli dalam kapasitas banyak, sang penjual pun tidak segan untuk memberikan tambahan kue sebagai bonus. Karena aktivitas penjualan yang ramai dari malam hingga pagi hari, maka dari itu tempat ini dinamakan pasar kue subuh.

Teriakan khas para penjual ikut meramaikan suasana keriuhan pasar kue subuh Senen. Pasar Kue Subuh Senen yang dapat terlihat dengan jelas dari flyover Senen ini dapat dicapai dengan mudah menggunakan TransJakarta. Travelers hanya perlu berjalan kaki menuju Pasar Kue Subuh Senen dari halte TransJakarta Senen.


• Pasar Poncol Senen

Salah satu pasar yang menjual barang-barang bekas adalah Pasar Poncol. Jika Travelers tahu Stasiun Senen, Pasar Poncol ini sangat mudah ditemukan karena letaknya yang berdekatan dengan stasiun. Dari luar, Pasar Poncol terlihat seperti pasar loak biasa yang menjual barang bekas. Berbagai barang bekas dapat dijumpai di sini seperti pakaian, sepatu, alat musik, alat pancing, alat elektronik, perlengkapan rumah tangga, perlengkapan mobil dan sebagainya. Tetapi jika jeli dalam memilihnya, Travelers akan menemukan barang branded dan limited edition yang masih dalam keadaan baik.

Kebanyakan barang yang dijual di sini merupakan barang second hand atau barang bekas yang masih layak untuk digunakan. Barang-barang antik juga bisa Travelers temukan di sini seperti arloji, koper tua, jam dinding, dompet kulit, kamera analog dan lainnya. Diperlukan kesabaran ekstra untuk memasuki kios-kios di Pasar Poncol ini satu per satu. Waktu terbaik untuk mengunjungi Pasar Poncol ini ialah pagi hingga sore hari karena Travelers bisa dengan leluasa menelusuri lorong-lorong yang barang dagangannya sudah tertata dengan rapi.

Masih banyak pasar-pasar lainnya di Jakarta dengan komoditas khas seperti Pasar Gembrong dengan beragam mainan yang dijualnya dan tentunya dengan harga terjangkau. Kios-kios yang tertata rapi di dalamnya pun dapat memudahkan pembeli untuk memilih barang yang akan dibeli. Pasar ini dikenal sebagai pusat mainan berkualitas. Banyak orang tua yang mengajak anak-anaknya ke sini karena harganya yang lebih murah 10-20 % daripada harga di pasaran. Selain itu juga ada Pasar Asemka yang lengkap dengan barang grosirnya namun juga bisa dibeli dengan satuan. Dimulai dari perlengkapan sekolah, peralatan kantor, suvenir, aksesoris kantor dan lainnya. Harganya pun beragam tergantung dari jenis barang yang Travelers beli.

Pasar lainnya seperti Pasar Seni Ancol memiliki ciri khas dibandingkan dengan pasar lainnya yaitu memasarkan hasil karya seni seperti lukisan dan hasil pahatan. Dengan fasilitas yang dimiliki, Pasar Seni Ancol menaungi para seniman dan pengusaha kreatif lainnya untuk terus mengembangkan seni budaya di Jakarta dan Indonesia.

Jl. Surabaya sebagai tempat penjualan barang-barang antik di Jakarta

Jalan Surabaya

Pasar khusus barang antik juga bisa Travelers kunjungi yaitu di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Pasar Jalan Surabaya ini dikenal karena kios-kiosnya yang menjual barang antik dan jarang ditemukan di tempat lain. Harganya pun beragam tergantung dari jenis barang dan kondisi barang tersebut. Semakin antik dan langka maka harganya pun bisa mencapai puluhan juta. Selain barang antik, pasar ini juga menawarkan koper-koper bekas yang masih bisa digunakan.

Bagi Travelers yang memiliki hobi belanja, tidak ada salahnya untuk mengunjungi pasar-pasar tradisional yang ada di Jakarta ini. Selain harganya yang terjangkau, jika beruntung, Travelers bisa mendapatkan barang yang langka dan berkualitas.

Artikel : Nelce Muaya | Foto : George Timothy, Nelce Muaya, George Timothy, Dyah Puri Surastianii

Tenunan Untaian Harapan

Salah satu wujud kekayaan budaya Indonesia tercerminkan dari lahirnya wastra atau kain tradisional Nusantara. Sebagai peninggalan turun menurun, wastra melekat menjadi sebuah identitas khusus dari tiap daerah dan memiliki sebutannya masing-masing.

Diolah dengan indahnya, tiap helai, motif, serta corak pun memiliki nilai dan arti. Begitu pula dengan adanya sarung tenun sutra Bugis Lipa’ Sabbe yang kerap menjadi buah tangan pilihan Travelers yang berkunjung ke Kota Anging Mamiri.

Nama Lipa’ Sabbe sendiri berasal dari bahasa Bugis yang artinya sarung sutra. Dalam pemakaiannya, Lipa’ Sabbe digunakan sebagai bawahan sarung yang dipadukan dengan jas tutup bagi laki-laki. Untuk perempuan, sarung ini dikenakan sebagai bawahan dari baju bodo, di mana biasanya salah satu ujung Lipa Sabbe’ dibiarkan menjuntai dan cukup dipegang menggunakan tangan kiri. Khusus untuk pertunjukan tari tradisional, umumnya Lipa’ Sabbe akan digulung di bagian punggung dengan simpul menyerupai kipas.

Apabila Travelers ingin mengunjungi langsung sentra kerajinan Lipa’ Sabbe, maka wajib untuk mampir ke Kota Sengkang, Kabupaten Wajo. Berjarak sekitar 4 – 5 jam dari Kota Makassar, menggunakan kendaraan pribadi maupun umum.

Ketika Travelers memasuki Kota Sengkang maka akan terlihat sebuah gapura besar yang bertuliskan “Selamat Datang di Sengkang Kota Sutera”. Diajarkan secara turun-temurun, keterampilan masyarakat Sengkang dalam mengolah sutra sudah tersohor di Sulawesi Selatan.

Mulanya, benang sutra yang digunakan merupakan benang impor, namun kini warga sudah melakukan proses pemeliharaan ulat sutra sendiri di rumah-rumah. Kondisi tanah yang subur di wilayah ini pun memudahkan para warga untuk menanam pohon murbei yang menjadi pakan utama ulat sutra.

Terkenal dengan teksturnya yang halus dan mengkilat, Lipa’ Sabbe asli Kota Sengkang ditenun menggunakan dua teknik. Yang pertama adalah dengan menggunakan alat tenun gedongan, di mana menenun dilakukan sembari duduk dan meluruskan kedua kaki ke depan, atau dengan melipat salah satu kaki. Kedua adalah dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang dilakukan dengan posisi duduk sambil menginjak sepasang pedal kayu yang terdapat di bagian bawah ATBM secara silih berganti dengan kaki kiri dan kanan.

Untuk satu potong Lipa’ Sabbe biasanya memakan waktu 3 hari hingga 1 minggu untuk diselesaikan, tergantung dari motif maupun coraknya, dan tiap potong Lipa’ Sabbe asli Sengkang ini dijual dengan kisaran harga antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000.

Seiring dengan perkembangan zaman, elemen-elemen kain Lipa’ Sabbe pun menjadi lebih variatif. Bermula dari motif tradisional kotak-kotak kecil berwarna cerah yang disebut balo renni atau motif kotak-kotak besar dengan warna merah terang hingga merah keemasan yang disebut balo lobang, kini motif-motif modern pun sudah semakin banyak diproduksi. Akan tetapi, perkembangan ke arah lebih modern dilakukan dengan tetap menjaga nilai-nilai keunikan dan warna khasnya.

Sarung tenun sutra Bugis ini tentunya menjadi salah satu gambaran nyata akan keelokan dan kekayaan budaya Sulawesi Selatan, di mana tiap helai benang, motif, corak serta warna, mencerminkan harapan kebaikan dari sosok penenun di balik keindahan Lipa’ Sabbe.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : Iqbal Fadly

  • Catatan

    Hingga saat ini, masyarakat Sulawesi Selatan kerap mengenakan Lipa’ Sabbe dalam acara adat, acara pernikahan seperti mappacci, dan juga sebagai hadiah pernikahan untuk mempelai perempuan dari mempelai laki-laki. Pada tahun 2016, Lipa’ Sabbe resmi menjadi bagian dari 33 kain tradisional yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Potensi dan Kontroversi

Bukan hanya keindahan alamnya saja, Bumi Blambangan juga dianugerahi ke­kayaan akan sumber daya alam. Komoditas yang melimpah di pertanian dan perikanan senantiasa membawa kemakmuran bagi masyarakat Banyuwangi. Dan salah satu komoditas khas Banyuwangi yang paling menarik untuk diamati adalah tambang belerang yang terdapat di Kawah Ijen.

Dengan danau asam berwarna biru ke­hijauan yang mencolok dan fenomena
blue fire-nya, Kawah Ijen telah di­kenal sebagai primadona pariwisata di Banyuwangi. Di balik pesona eksotisnya, danau asam terbesar di dunia ini menyimpan cadangan sulfur atau belerang terbesar di Indonesia. Namun pengerjaan tambang yang masih amat tradisional di tempat ini juga mengundang sorotan mancanegara karena keunikan dan keekstreman kondisi yang pekerjanya harus lewati sehari-hari.

Sumber belerang di Ijen yang melimpah mulai ditambang sejak zaman Hinda-Belanda, tepatnya pada tahun 1911. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengaktifkan kembali penambangan di Ijen secara resmi di tahun 1968. Namun penambangan belerang tersebut masih dikerjakan dengan tradisional, bahkan hingga saat ini.

Para pekerja tambang di Ijen harus naik ke ketinggian sekitar 2,386 mdpl untuk mencapai bibir kawah. Selanjutnya mereka harus turun ke tepi danau yang berada di ketinggian 2,145 mdpl untuk mencapai solfatara, dapur belerang tempat penambangan. Para pekerja harus melewati jalur bebatuan yang terjal dan berliku sambil memanggul bakul-bakul berisi belerang seberat 70-90 kg. Ditambah lagi, mereka harus menghadapi gas vulkanik dari reaksi belerang yang menyengat dan membubung tak tentu arah tertiup angin. Dan umumnya, mereka melakukan dua kali perjalanan tersebut per harinya.

Gas vulkanik di Ijen adalah gas berbahaya yang pedih di mata serta mengeluarkan aroma yang busuk. Para wisatawan dianjurkan menggunakan masker dalam kunjungannya ke Kawah Ijen karena hal ini. Namun banyak dari para penambang belerang di Ijen yang justru tidak mengenakan masker dalam melakukan pekerjaannya. Hanya beberapa saja yang menggunakan kain sederhana untuk melindungi pernapasan mereka.

Tidak jarang dari para pekerja yang terjangkit penyakit pernapasan. Atau sakit di bagian bahu dan pinggang karena berat yang harus dipikul setiap harinya. Beberapa media internasional menyebut pekerjaan menambang di Ijen ini sebagai pekerjaan yang paling membahayakan di dunia. Namun di balik kondisi yang memprihatinkan, para pemanggul belerang Ijen ini justru mendunia sebagai salah satu atraksi yang menarik para wisatawan untuk mengunjungi Kawah Ijen.

Sebenarnya telah ada wacana untuk mengindustrialisasikan tambang belerang di Ijen dengan bantuan mesin, yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tambang. Namun para pekerja tambang yang mayoritas adalah warga setempat memilih untuk menjaga metode penambangan tradisional yang telah berlangsung turun-temurun di Ijen. Pembangunan dan penempatan alat berat juga dikhawatirkan akan merusak kealamian di Kawah Ijen yang juga merupakan salah satu tujuan wisata alam utama di Banyuwangi.

Belerang sendiri memiliki banyak kegunaan dalam keseharian kita. Mulai dari pembuatan pupuk, bahan untuk pemutih gula dan benang, sebagai bahan obat, sabun hingga kosmetik. Walau hanya dengan proses tradisional, saat ini tambang belerang Ijen menghasilkan 14 ton belerang per harinya dan diekspor hingga ke Cina dan seluruh Asia Tenggara.

Cadangan belerang terbesar di Indonesia ini memang menyimpan banyak potensi yang masih bisa digali, namun mungkin juga dengan potensi kerusakan alam yang dapat ditimbulkannya. Dengan mempertahankan metode penambangan tradisional, para penambang di Ijen memang berkorban untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarga, tanpa menghiraukan kondisi pekerjaan mereka yang begitu ekstrem. Namun yang terpenting, para penambang di Ijen juga turut membantu terjaganya keasrian di Kawah Ijen sebagai salah satu bentang alam terunik dan terelok di Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Derita Masa Lalu, Harta Masa Depan

Walau menyimpan sejuta pesona keindahan, alam di Pulau Sumba masih dikenal sebagai tanah yang kering dan tidak subur. Hamparan sabana dengan sedikitnya pepohonan menjadi pemandangan yang umum di Sumba, terutama di Sumba bagian timur. Padahal di balik kesannya yang tandus, pulau ini sebenarnya memilki kekayaan alam yang istimewa dan berpotensi.

Tidak hanya dalam keanekaragaman hayati dua taman nasionalnya, atau potensi wisata dari keindahan pantai-pantainya. Alam di Pulau Sumba juga menjadi spesial berkat salah satu pohon termahal di dunia yang tumbuh di sana, yaitu pohon cendana.

Gugus kepulauan Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu konsentrasi budidaya cendana (Santalum album Linn) di Indonesia, terutama di Pulau Timor dan Pulau Sumba. Cendana memiliki banyak kegunaan, mulai dari penyedap makanan, aromaterapi, hingga menjadi salah satu bahan untuk pembuatan sabun, kosmetik, dan parfum. Cendana juga dipercaya dapat membantu mencegah kanker dan mengobati berbagai jenis penyakit seperti asma, peradangan, dan penyakit kulit.

Minyak dan kayu cendana telah menjadi komoditas utama Sumba sejak dahulu kala, dan cendana-cendana dari Sumba dan Timor dulunya merupakan cendana dengan jenis dan kualitas terbaik di dunia. Hal tersebut menjadi salah satu daya tarik bagi Portugis dan Belanda untuk menancapkan kekuasaannya di kedua pulau ini. Cendana memang menjadi salah satu pemicu penderitaan masyarakat di zaman kolonial, di mana pada masa itu, cendana dari wilayah ini diekspor dalam jumlah besar ke Eropa, Arab dan Cina.

Menurut cerita, dulunya hutan cendana dengan pohon-pohon cendana yang menjulang tinggi banyak memenuhi Pulau Sumba. Namun eksploitasi yang berlebihan telah mengurangi jumlah pohon cendana dengan signifikan. Bahkan, pada tahun 1987 hingga 1997, penurunan jumlah cendana di wilayah Nusa Tenggara Timur merosot hingga 50%. Hal ini membuat International Union for Conservation of Natural Resource (IUCN), lembaga internasional yang bergerak di bidang konservasi sumber daya alam, mendaftarkan cendana di Indonesia ke dalam kategori spesies yang terancam punah.

Saat ini, semangat untuk mengembalikan kejayaan cendana mulai tumbuh di Sumba. Cendana merupakan salah satu komoditas yang digalakkan pemerintah setempat. Masyarakat yang membudidayakan cendana di pekarangan rumah atau kebun keluarga juga semakin bertambah.

Cendana adalah tumbuhan dengan masa panen yang cukup lama, yang idealnya baru bisa dipanen setelah belasan hingga puluhan tahun. Namun masyarakat di Pulau Sumba percaya bahwa cendana-cendana muda yang sekarang masih kecil, akan menjadi investasi besar untuk anak cucu mereka. Saat ini cendana memang menyimpan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Dengan harga satu pohon yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Cendana memang selalu melekat dengan Pulau Sumba. Jika Anda berkesempatan melihat peta-peta lama, terutama yang dibuat oleh bangsa Eropa, mungkin Anda akan menemukan nama ‘Sandalwood Island’ tertulis di atas ilustrasi Pulau Sumba.

Sandalwood adalah cendana, dan Sandalwood Island adalah nama dari bangsa Eropa untuk Pulau Sumba. Setelah kemerdekaan, nama itu berkembang menjadi ‘Nusa Cendana’ yang kini melekat sebagai salah satu julukan dari pulau ini.

Meski mengingatkan cerita pahit akan kolonialisme, cendanalah yang dulu meletakkan keberadaan Pulau Sumba di peta-peta kuno dunia. Dan dengan tunas-tunas yang kini mulai tumbuh kembali, mungkin nantinya cendana jugalah yang kembali melambungkan nama Sumba di mata dunia, selain mengangkat masyarakatnya menuju kesejahteraan yang lama dinantikan.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Ketika Tradisi Menjadi Inspirasi

Selesai menjelajah keindahan alam dan budaya di Sumba, menandakan saatnya belanja oleh-oleh atau kenang-kenangan. Dengan potensi wisata yang semakin ramai mengundang turis, masyarakat di Pulau Sumba juga semakin giat mengembangkan berbagai kerajinan. Mulai dari kain tenun Sumba yang penuh warna, hingga katopo atau parang tradisional yang beragam bentuknya.

Pernak-pernik Sumba juga menjadi salah satu pilihan cinderamata yang paling umum. Selain sederhana dan praktis untuk dibawa, keunikan dari pernak-pernik Sumba juga terdapat di bentuknya yang terinspirasi dari tradisi dan budaya setempat.

Contoh bentuk tradisi Sumba yang tertuang dalam cinderamata setempat adalah mamuli dan lulu amah. Entah itu sebagai motif pada kain-kain tenun atau pada relief yang terpahat di kubur batu, mamuli adalah bentuk yang paling umum dijumpai di segala aspek kerajinan di Sumba.

Mamuli pada dasarnya adalah perhiasan dari emas atau perak yang berbentuk seperti vulva wanita. Seperti bentuknya, mamuli melambangkan kewanitaan dan kesuburan. Sandingan mamuli terdapat pada lulu amah, semacam tali yang juga terbuat dari emas atau perak, dan dianggap sebagai simbol kejantanan.

Sejak dulu, mamuli dan lulu amah yang terbuat dalam berbagai ukuran ini merupakan bagian terpenting dalam belis, mahar atau mas kawin dalam pernikahan. Mamuli sering diwariskan secara turun temurun dan dipercaya sebagai penghubung ikatan dengan para leluhur.

Bahkan tidak jarang mamuli dijadikan salah satu bekal kubur sebagai benda pusaka keluarga. Namun saat ini, bentuk mamuli juga diaplikasikan di pernak-pernik yang terbuat dari kuningan dan tembaga, sebagai cinderamata yang berupa kalung, anting atau bros.

Di Sumba juga terdapat beberapa kerajinan yang terbuat dari bagian tubuh hewan, seperti tanduk dan tulang kerbau. Sisir tradisional Sumba atau haikara bahkan terbuat dari cangkang penyu, yang diukir dengan motif-motif yang juga sering dijumpai pada kain tenun Sumba. Para wanita Sumba biasanya menancapkan haikara di rambut mereka pada upacara adat atau kegiatan formal lainnya, sehingga haikara terlihat bagai tiara yang memahkotai para wanita Sumba.

Cinderamata menarik lainnya yang dapat Anda temui di Sumba adalah walaona dan anahida, manik-manik tradisional yang awalnya difungsikan sebagai aksesoris pengantin. Ada juga tongal, dompet atau tas kecil yang terbuat dari kayu, dan biasanya dililitkan di pinggang para lelaki.

Semua kerajinan tersebut dapat Anda temui di pasar-pasar tradisional maupun desa-desa adat di Sumba. Pernak-pernik yang tidak hanya menarik, namun juga mencerminkan bagaimana masyarakat Sumba mampu mengembangkan nilai-nilai tradisi menjadi suatu komoditas yang turut menunjang perekonomian setempat. Jika Anda berwisata ke Sumba, jangan lupa untuk membawa pulang satu atau dua dari kerajinan ini, sebagai pengingat akan keramahan dan kearifan lokal dari masyarakat di Pulau Sumba.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy