Berada di jantung Kota Jogja, Jalan Malioboro selalu menjadi penting bagi penduduk Kota Jogja dengan sejarahnya yang panjang, mulai dari zaman penjajahan hingga kemerdekaan. Jalan ini mulai ramai semenjak didirikannya Benteng Vredeburg di bagian selatan jalan pada tahun 1790, yang sekitarnya kemudian berkembang menjadi kawasan komersial yang ramai dengan orang Belanda dan Tionghoa. Berdirinya Stasiun Tugu Yogya di tahun 1887 kian menambah ramainya jalan ini, membuat nama Malioboro semakin dikenal khalayak ramai.

Saat ini Malioboro dipenuhi banyak monumen dan bangunan penting dari Kota Jogja seperti bangunan bersejarah serta kantor-kantor pemerintahan. Di jalan utamanya, Malioboro memiliki jalan besar untuk pejalan kaki yang ramai dengan pedagang kaki lima.

Cindera mata, jajanan pasar, hingga kerajinan khas Jogja seperti batik dapat Anda temui disini. Bagi Anda yang gemar belanja, pastikan Anda mengunjungi Jalan Malioboro dan merasakan kemeriahannya secara langsung.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Media Pemersatu Masyarakat Gayo

Terasa ada yang kurang rasanya jika berkunjung ke Tanoh Gayo jika tidak menyaksikan pacuan kuda, atau dengan bahasa setempat disebut pacu kude. Sebuah event perlombaan pacuan kuda tradisional yang selalu ditunggu-tunggu dan membawa berkah di tiga kabupaten Gayo, yaitu Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues.

Dengan segala keunikannya, pacu kude merupakan hiburan rakyat turun-temurun di Tanoh Gayo yang telah berlangsung bahkan sebelum datangnya Belanda. Pada eranya pacu kuda digelar dengan arena pacuan yang lurus di tepi pantai Danau Lut Tawar yang jaraknya sekitar 1,5 km.

Dengan sisi barat berbatas Danau Lut Tawar sementara sisi timur dipagari dengan geluni (sejenis rotan). Pacu kude ini biasa diselengggarakan pada saat luwes belang – masa setelah masa panen padi yang sering kali berada di bulan Agustus. Cuaca pada saat bulan itu juga sangat mendukung karena berada dalam musim kemarau. Hingga kemudian ditetapkanlah pacu kude pada bulan Agustus tersebut.

Uniknya pada saat itu para joki tidak diperkenankan menggunakan baju alias telanjang dada. Para pemenang juga tidak diberi hadiah, lantaran ‘gah’, marwah gengsi atau status sosial yang dipertahankan dan menjadi taruhan utama dalam tiap pacu kude. Kemenangan yang diperoleh tersebut dilanjutkan dengan perayaan dan syukuran oleh penduduk setempat dengan sistem ‘bersigenapen’ yaitu saling sumbang – menyumbang untuk biaya perayaan kemenangan tersebut.

Sekitar tahun 1912, pemerintah Belanda melihat pacu kude sebagai media yang dapat mempersatukan masyarakat Gayo. Melihat peluang itu pemerintah Belanda memindahkan arena pacuan kuda ke Takengon, tepatnya di Blangkolak yang sekarang bernama Lapangan Musara Alun. Pacuan kuda di waktu pendudukan Belanda diselenggarakan setiap ulang tahun Ratu Wilhelmina yang juga bertepatan pada bulan Agustus, dan para pemerintah belanda membuat event ini jauh lebih meriah.

Para pemenangpun diberi hadiah dan piagam juga disediakan biaya makan untuk kuda. Lambat laun tradisi memberi hadiah berlanjut hingga kini. Selain itu semenjak dipindahkannya arena pacu kude, sistem dan aturannya juga berubah. Mulai dari arena yang sebelumnya lurus menjadi oval dengan pagar rotan di kanan-kirinya, hingga para joki yang sebelumnya bertelanjang dada saat mengendarai kuda pada saat itu juga mulai diberi baju warna-warni.

Tradisi ini terus berlangsung hingga sekarang, dengan semakin banyaknya pembaruan. Mulai dari arena yang di pindahkan ke tempat yang lebih besar dan layak, pagar yang menggunakan tiang besi dan start yang menggunakan box start. Bahkan kuda-kuda yang dipacu tidak lagi hanya kuda lokal. Kuda-kuda tinggi, besar, dan gagah hasil persilangan kuda Australiapun berpacu disini.

Yang masih melekat hingga sekarang ialah joki cilik-nya. Ya, para joki di pacuan kuda gayo ini umumnya adalah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kuda-kuda yang mereka tunggangi juga tidak menggunakan pelana melainkan hanya menggunakan tali kekang. Namun mulai dengan masuknya kuda-kuda yang berpostur tinggi, kuda-kuda tersebut mulai menggunakan pelana. Tapi tidak dengan kuda kelas F, yang mana merupakan kuda lokal Gayo.

Umumnya ada 6 klasifikasi yang dipertandingkan disini yaitu A, B, C, D, E, F dan klasifikasi ini dibagi menjadi 2 kategori lagi berdasarkan tua dan muda. Biasanya untuk membedakan klasifikasi ini kuda yang akan dipacu diukur dan didata terlebih dahulu. Dan kuda-kuda lokal Gayo biasanya masuk dalam klasifikasi D, E, dan F, sedangkan untuk kuda-kuda hasil persilangan masuk dalam klasifikasi A, B, dan C.

Selain menjadi hiburan rakyat, pacu kude juga menjadi tempat masyarakat Gayo ataupun wisatawan untuk berbelanja dan menikmati hiburan anak. Karena saat diselenggarakannya pacu kude ini, terdapat banyak pedagang yang menjual aneka jenis barang dan pakaian terpusatkan di hari pacuan kuda.

Bahkan para pedagang yang berjualan di pacuan kuda tidak hanya pedagang lokal, pedagang dari luar kota pun ikut berjualan di lokasi pacuan kuda di Tanoh Gayo ini. Seperti pasar malam dan wahana mainan anakpun ikut meramaikan suasana pacuan kuda di Gayo.

Sekarang pacu kude menjadi event tahunan yang diadakan setahun sekali untuk memperingati hari lahirnya kabupaten-kabupaten itu sendiri. Untuk di Aceh Tengah sendiri pacu kuda bahkan diadakan 2 kali dalam setahun, yaitu di hari ulang tahunnya kota Takengon pada bulan Februari, juga di hari lahirnya bangsa Indonesia pada 17 Agustus.

Jadi, dalam setahun ada 4 kali event pacu kuda yang diselenggarakan di Dataran Tinggi Gayo. Dan buat kalian yang berlibur ke Dataran Tinggi Gayo, jangan sampai melewatkan salah satu hiburan rakyat Gayo yang sangat unik dan menarik ini. Rugi rasanya jika telah sampai Dataran Tinggi Gayo namun tidak menyaksikan pacu kude.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : Iqbal Fadly & Ibna Alfattah

Menilik Trend Kedai Kopi di Tanoh Gayo

Masyarakat Provinsi Aceh, khususnya masyarakat Gayo, sangat sulit dipisahkan dari yang namanya kopi. Kedai kopi sangat banyak kita temui di Gayo. Baik siang maupun malam, berbagai lapisan masyarakat mengisi kedai-kedai kopi untuk bersantai minum kopi.

Tidak terbatas dari yang tua maupun muda, pria atau wanita, semua mampu berbaur tanpa sekat dan batas. Bisa dikatakan, kopi ibarat nafas bagi Orang Gayo yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Sebagai komoditas utama di Tanoh Gayo, banyak masyarakat Gayo yang setuju dengan istilah setempat: “Dari kopi kami hidup, maka dari kopi pula kami mati”.

Budaya minum kopi ini sudah sejak dahulu masyarakat Gayo lakukan, menjadi kebiasaan yang mendarah daging hingga kini sebagai teman disaat ngobrol dan kerja, apalagi mayoritas penghidupan masyarakat Gayo adalah sebagai petani kopi.

Sajian kopi ini juga tidak hanya di kedai-kedai kopi melainkan di setiap rumah masyarakat Gayo. Bahkan sejak dulu, kalau ada orang bertamu ke rumah orang Gayo pasti kopi akan tersedia sebagai suguhan utama dengan makanan ringan lainnya.

Dalam beberapa tahun kebelakang, kopi asal Dataran Tinggi Gayo semakin terkenal dan lebih sering kita dengar dalam dunia perkopian di dalam negeri maupun mancanegara. Kopi gayo ini termasuk dalam jenis arabika terbaik di pasar dunia. Perkebunan kopi yang telah dikembangkan sejak 1908 ini tumbuh subur di Dataran Tinggi Gayo, yang menjadikannya produksi kopi arabika terbesar di Asia yang memiliki cita rasa yang khas dan nikmat.

Seiring itu, pola sajian kopi di warung-warung kopi di Gayo juga mengalami perubahan kearah sajian modern. Jika biasanya sajian minum kopi hanya dengan menggunakan cara tradisional, kini mulai berkembang menggunakan alat modern seperti coffee maker maupun mesin espresso.

Ciri penikmat kopi juga mulai berubah. Jika di kedai kopi biasanya pemesan kopi hanya memesan kopi sanger atau kopi hitam, kini menu varian kopi di kedai kopi modern atau coffee shop lebih banyak kita dapati. Tidak diragukan lagi kalau dari segi cita rasa, kopi gayo sangat menjaga kualitasnya bahkan beberapa produsen kopi besar di indonesia mengambil biji kopi gayo sebagai pelengkap cita rasa kopi mereka. Dan untungnya, untuk menikmati cita rasa kopi gayo yang terkenal di seluruh mancanegara ini, kita tidak perlu mengeluarkan uang banyak, namun cukup dengan Rp.12.000 kita bisa menikmati espresso single origin gayo.

Sekitar tahun 2008, kedai kopi yang bernama Bergendal memperkenalkan konsep kedai kopi modern di Dataran Tinggi Gayo, tepatnya di Gegerung, Kabupaten Bener Meriah. Kedai kopi ini sangat eksis sejak pertama kali dibuka, para pengunjung yang sangat antusias dan penasaran dengan konsep yang diberikan Bergendal kopi ini membuat kedai kopi ini selalu ramai, dari kalangan muda ataupun tua semuanya berbaur bersama di kedai kopi yang bergaya modern ini.

Dengan berjalannya waktu kedai-kedai kopi modern ini pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Kedai-kedai kopi ini selalu dijejali penikmat dan pecandu kopi. Selain untuk menikmati kopi itu sendiri mereka juga menjadikan kedai-kedai kopi modern ini sebagai tempat bergaul dan diskusi. Dan persaingan kedai kopi ini pun terus berlangsung, tidak hanya dari cita rasa dan menu, tapi juga dari tampilan dan konsep kedai-kedai kopi yang di berikan.

Para pengunjung di setiap kedai kopi itu juga berbeda-beda kalangan, sesuai konsep kedai kopi itu sendiri. Seperti kedai kopi ARB, kedai kopi ini sangat mengikuti perkembangan dunia kopi dengan sangat baik, ditambah desain dan tempat yang sangat modern. Membuat para remaja dan pemuda sering berkumpul di sini, untuk berdiskusi atau hanya sekedar menikmati kopi dengan teman.

Lain halnya dengan Seladang kopi, kedai kopi ini memiliki konsep yang sangat unik dan menarik walau hanya memiliki mesin kopi manual. Tapi tidak membuat para pengunjung atau wisatawan cemberut di kedai kopi ini, kedai kopi ini memiliki konsep yang sangat fresh yaitu minum kopi di kebun kopi.

Dengan konsep itulah kedai kopi ini mendatangkan pengunjung lokal maupun luar, untuk merasakan suasana minum kopi di alam terbuka dengan pemandangan di kelilingi pohon kopi. Ada pula kedai kopi yang juga menjadi favorit yaitu Galeri Kopi Indonesia, yang menawarkan pengalaman belajar mengenal dan membuat kopi langsung di kebun kopi.

Dengan semakin banyaknya kedai-kedai kopi modern, maka lapangan perkerjaan pun mulai terbuka lebar dan membuat para remaja-remaja Gayo semakin tertarik dengan kopi. Pihak pemerintahpun mencoba tanggap dengan keadaan ini dengan membuka pelatihan-pelatihan barista atau roaster, atau event pertandingan menyeduh kopi. Dan hingga tahun-tahun kedepan, Dataran Tinggi Gayo diharapkan akan terus menjadi surga bagi semua penikmat kopi di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : George Timothy & Iqbal Fadly