Yogyakarta yang semakin istimewa 

 

Yogyakarta pada 7 Oktober 2021 ini merayakan hari jadinya ke 265 tahun, serangkaian kegiatan dipersiapkan untuk menyambut hari jadi Kota Yogyakarta kali ini, salah satunya adalah kegiatan Familiarization Trip (FAM Trip) yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta. Para peserta FAM Trip 2021 yang terdiri dari berbagai media, vloger, bloger dan influencer diajak untuk  berkeliling kota Yogyakarta, kunjungan yang menyenangkan ini tentunya untuk melihat langsung budaya dan kearifan lokal Kota Yogyakarta yang penuh dengan keramahtamahan, menikmati destinasi wisata yang sudah kembali aktif, mencoba berbagai kuliner lezat dan merasakan sensasi wisata budaya dengan puncaknya menyaksikan event tahunan terbesar Kota Yogyakarta yakni Wayang Jogja Night Carnival yang merupakan acara tahunan yang sampai saat ini sudah berjalan 6 tahun.

Pengalaman istimewa FAM Trip kali ini juga ditawarkan melalui sebuah program paket wisata baru yang diberi nama Monalisa “Romansa Kota Lawas”, program ini bertujuan mengajak para wisatawan untuk menikmati beberapa destinasi wisata di Yogyakarta dengan mengendarai sepeda. MONALISA yang diambil dari kalimat “Menikmati Harmoni Kota Yogya dengan Lima Jalur Sepeda Wisata” ini ditujukan untuk mengajak para wisatawan untuk merasakan Pengalaman wisata sepeda melintasi Kota Yogyakarta, mengenal lebih dekat budaya, atraksi, kerajinan, kuliner dan keramahtamahan dari kampung wisata serta obyek wisata di sepanjang jalan yang dilewati saat bersepeda.

Rombongan FAM Trip memulai rangkaian bersepeda di hari jadi Kota Yogyakarta dimulai dari berkeliling area Kebun Binatang Gembira Loka yang biasa disebut Gembira Loka Zoo, kegiatan yang disebut Zoopeda ini juga bisa dinikmati pengunjung Gembira Loka umumnya di hari Sabtu dan Minggu di pagi hari. Puas berkeliling Gembira Loka Zoo yang berisi berbagai macam spesies dari belahan dunia, seperti Orang Utan, Gajah Asia, Simpanse, Harimau, Penguin, berbagai jenis burung dan reptil, hingga bersantai menaiki speedboat di danau buatan. Kembali melanjutkan program monalisa, para peserta FAM Trip juga diajak bersepeda ke area Kotagede menyusuri setiap kelokan, tanjakan dan turunan dengan dipandu cerita Pak Is dari Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta yang menjelaskan setiap sisi kota sehingga makin membuat kagum akan Jogja.

Kami sejenak beristirahat dari bersepeda, ketika memasuki area Masjid Gedhe Kota Mataram, rombongan FAM Trip di fasilitasi berziarah ke makam Raja-Raja Mataram, diantaranya yakni makam Panembahan Senopati, Ki Gede Pemanahan, dan Sultan Hadiwijaya. Komplek area makam yang dikelilingi tembok besar, gapura, dan di dalamnya para peserta dapat berfoto di sekitar makam yang penuh dengan sejarah dan cerita serta arsitektur bercorak Hindu dan Jawa yang begitu indah.

Peserta FAM Trip lalu melanjutkan bersepeda di Kotagede dan kembali beristirahat untuk menikmati jajanan tradisional khas Kotagede yang bernama Kipa (kipo) yang merupakan kue khas Kotagede yang terbuat dari campuran bahan ketan, santan, garam, dan gula, dibuat dengan cara diuleni kemudian dikukus serta dibakar. Disini kami langsung mencoba untuk belajar membuat dan menikmati jajanan Kipa (kipo) langsung dari pembuat Kipa (kipo) yang tertua di Kotagede. Sebelum kembali ke lokasi menginap di Hotel Harper Malioboro, para peserta FAM Trip diajak mengunjungi Museum Sandi di kawasan Kotabaru, museum ini merupakan museum kriptologi satu-satunya di Indonesia. Para peserta diajak untuk mempelajari cara membuat sandi secara sederhana serta belajar tentang sejarah pendirian institusi pengamanan berita rahasia pada awal kemerdekaan Indonesia, kami berkeliling dijelaskan mengenai bagaimana peran sandi sebagai bahasa komunikasi rahasia selama ini baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.

Setelah puas berkeliling kota seharian, sore menjelang malam rombongan FAM Trip diajak untuk menikmati dinner dan tea time di Hotel IOI lalu kemudian menyaksikan pertunjukan Wayang Jogja Night Carnival yang diadakan di Stadion Mandala Krida. Parade wayang terbesar ini dimulai pukul 18.00 hingga menjelang tengah malam, acara ini diikuti oleh penampilan dari komunitas seni dan budaya dari 14 kecamatan di Yogyakarta. Mereka menampilkan karya seni masing-masing kepada penonton. Istimewa gelaran WJNC ke-6 ini dihadiri langsung oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Menparekraf RI), Sandiaga Salahuddin Uno yang hadir dan kemudian mengajak seluruh jajaran Pemkot Yogyakarta menjaga brand dan untuk mempromosikan Kota Yogyakarta ke dunia.

Di hari jadinya Kota Yogyakarta, Drs. H. Haryadi Suyuti sebagai Wali Kota Yogyakarta mengumumkan bahwa Kota Jogja sudah fully vaccinated untuk warganya dan Jogja menunggu seluruh wisatawan untuk berkunjung kembali kesini. Beliau juga selalu mengingatkan, bahwa meski sudah berhasil melakukan vaksinasi 100%, Bapak Walikota menghimbau warga Yogyakarta tetap menerapkan protokol kesehatan. Tetap selalu menggunakan masker dan menjaga kesehatan – dengan harapan bisa menekan angka penularan Covid-19.  Hari ini juga diharapkan menjadi momen bagi Kota Yogyakarta untuk bangkit Kembali serta mendorong industri pariwisata hidup Kembali seperti semula. Masyarakat di luar Kota Yogyakarta, silahkan datang kembali ke Yogyakarta menikmati keindahan Kota Yogyakarta.

Acara WJNC tahunan ini juga bertujuan menjadi daya tarik wisata yang memperkuat imej Yogyakarta sebagai destinasi wisata utama. WJNC mengusung tema berbeda setiap tahunnya dan selalu mengambil latar belakang cerita Wayang dari Keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Travelink Magz juga mengajak seluruh pecinta traveling Indonesia untuk kembali berwisata di dalam negeri, banyak rindu yang perlu diobati.

Selamat bertambah usia kota istimewa Yogyakarta terima kasih untuk semua keramahan kotamu.

 

#HUTKotaJogja265

#jogjafamtrip2021

#pariwisatakotajogja

#jogjawelcomesyou

#yogyakartatourismpromotionboard

#wayangjogjanightcarnival

#wjnc2021

Adakah yang tidak bisa ditemukan di Jakarta? Semua tersedia di kota megapolitan ini. Gaya hidup yang gemerlap, serba cepat dan dinamis telah melekat pada kehidupan di Jakarta. Dengan luas area sekitar 663 kilometer persegi dan jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa, Jakarta adalah kota terbesar dan terpadat di Indonesia.

Pembangunan di Jakarta yang semakin pesat terpampang nyata dengan semakin banyaknya gedung-gedung pencakar langit sebagai pusat perkantoran, pemerintahan, hingga pusat perbelanjaan. Kerlap-kerlip lampu di tengah malam yang memantul di gedung-gedung menandakan kehidupan kota yang seakan tidak pernah berhenti dan selalu dipenuhi oleh kesibukan.

Wajah Jakarta pun menjadi begitu indah dengan keberadaan gedung-gedung pencakar langitnya. Bangunan modern dengan berbagai gaya di Jakarta menggambarkan laju perputaran ekonomi Indonesia yang kian cepat. Tak heran jika gaya hidup penduduk Jakarta di era milenial ini pun tidak lepas dari keberadaan tempat hangout sebagai sebuah ajang pemberian label dan identitas dari kehidupan yang serba modern pula.

Sebagai ibukota, Jakarta tentunya tidak hanya menjadi pusat pemerintahan saja, melainkan juga sebagai pusat bisnis dan perekonomian. Jumlah pusat perbelanjaan di Jakarta begitu banyaknya, sampai-sampai Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan mal terbanyak di dunia. Dengan begitu, Travelers tidak akan kesulitan untuk menemukan mal di Jakarta.

Mal di Jakarta tidak hanya menjadi tongkrongan bagi kaum milenial tetapi juga sebagai surga wisata belanja bagi shopaholic. Bagaimana tidak? Berbagai macam merek, lokal maupun internasional tersedia di sana. Berkunjung ke mal telah menjadi salah satu destinasi rekreasi keluarga bagi kaum urban.

Hampir setiap area di Jakarta memiliki mal dengan keunikan dan gaya arsitekturnya masing-masing. Bahkan kerap kali hunian modern seperti apartemen mewah juga memiliki mal di dalamnya sebagai pusat atraksi dan fasilitas pendukung di sekitar lingkungan permukiman.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun mendukung gaya hidup ini dengan mengadakan ajang belanja dengan diskon besar-besaran yang dinamakan Jakarta Great Sale Festival sebagai salah satu acara dalam rangka HUT DKI. Selain itu, Jakarta juga rutin menggelar pesta mode dunia setiap tahunnya, dengan nama Jakarta Fashion Week.

Berikut adalah beberapa rekomendasi mal yang menjadi tempat kegemaran untuk belanja maupun menongkrong bagi warga Jakarta. Mal Taman Anggrek dan Central Park yang ada di Jakarta Barat. Pacific Place, Pondok Indah Mal, Plaza Senayan dan Senayan City yang berada di Jakarta Selatan. Grand Indonesia dan Plaza Indonesia di pusat jantung kota. Mal Kelapa Gading di utara Jakarta serta AEON Mal untuk warga di bagian timur Jakarta.

Masing-masing mal tersebut memiliki keunikannya tersendiri, seperti Central Park yang memiliki taman cukup besar di areal sekitar mal sehingga memungkinkan pengunjung untuk membawa hewan piaraan. Ada pula Pacific Place, di mana terdapat salah satu department store paling terkenal asal Perancis, yaitu Galleries Lafayette.

Seiring perkembangan zaman, budaya nongkrong telah bertransformasi dari kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer, terutama bagi kalangan muda Jakarta. Berkunjung ke tempat yang dapat mengusir kepenatan, seperti tempat yang menyajikan makanan lezat sekaligus live music, menjadi hal yang wajib dilakukan sebagai bentuk rekreasi agar pikiran kembali segar.

Acaraki Jamu

Suasana di Acaraki Jamu, Kota, Jakarta.

Kafe dengan konsep iringan live music masih menjadi primadona sebagai tempat hangout karena dapat menembus semua kalangan. Salah satunya dapat Travelers temukan di kawasan Menteng atau Sarinah, Jakarta Pusat. Hard Rock Café, Pisa Café, dan Meilis Café menjadi pilihan kawula muda untuk mencari hiburan malam dengan iringan alunan musik yang disajikan dalam genre berbeda di setiap minggunya. Rasa bosan dan penat yang melekat di kepala seketika menghilang berkat kombinasi makanan lezat dan alunan musik indah.

Selain itu, mulai dari tongkrongan tradisional seperti kedai dan warung, hingga yang kental dengan nuansa modern seperti coffee shop, restoran dan kafe beragam konsep, semakin banyak tersebar di Jakarta. Bagi Travelers penggemar kopi, tersedia beragam jenis coffee shop di kota Jakarta. Mulai dari kopi dalam negeri seperti kopi Gayo, Toraja dan Sumbawa, hingga kopi yang berasal dari mancanegara seperti Ethiopia.

Travelers juga dapat pergi ke daerah Cikini Raya untuk coffee shop dengan nuansa vintage berbalut arsitektur modern. Bagi pecinta seni, Taman Ismail Marzuki rutin mengadakan pameran seni, mulai dari lukisan kontemporer, tarian tradisional hingga drama musikal. Biasanya muda-mudi juga menghabiskan waktu malam mereka di kawasan ini karena berbagai macam kafe dengan sangat mudah ditemukan di sepanjang jalan.

Adalah sebuah kenyataan bahwa kini mal dan kafe telah berdampak besar terhadap kehidupan sosial di Jakarta. Kehidupan yang dipadati oleh aktivitas perkantoran dan kemacetan setiap harinya seringkali membuat masyarakat yang tinggal di Jakarta lekat dengan tekanan. Oleh sebab itu, mampir ke mal dan kafe di Jakarta telah menjadi gaya hidup sekaligus siasat untuk menghilangkan kepenatan. Dengan interior dan eksterior yang instagrammable, tempat-tempat tongkrongan pun kini menjadi panggung ajang eksistensi diri kaum urban, terutama melalui media sosial.

Artikel : Aki Suhartono | Foto : Andreas H, Fauzi Ramdhani

  • Info

    Selain menjadi lifestyle, budaya nongkrong turut mendukung pertumbuhan ekonomi di Jakarta lewat ragam jenis tempat hangout di seluruh kota.

Istana di Atas Samudra

Hamparan laut yang mengelilingi Indonesia telah menyaksikan timbul tenggelamnya berbagai jenis perahu dan kapal. Dengan gaya tradisional, atau modern. Dengan fungsi kapal nelayan, dagang, atau perang.

Di antara kapal-kapal yang menghias laut Nusantara, pinisi mungkin menjadi yang paling dikenal saat ini. Dengan bentuknya yang gagah dan anggun, kapal-kapal pinisi konon selalu meramaikan tiap pelabuhan utama Hindia-Belanda pada masa kolonial.

Namun keistimewaan pinisi bukan hanya terdapat pada perannya dalam sejarah kelautan Indonesia. Tapi juga pada seni pembuatannya yang penuh dengan nilai dan cerita yang menarik untuk kita pelajari bersama.

Sejatinya, penyebutan pinisi sebenarnya lebih merujuk ke seni pembuatan kapal dengan jenis layarnya yang khas, yaitu memiliki dua tiang, dan tujuh layar. Ketujuh layar melambangkan tujuh samudra di dunia yang siap diarungi tiap kapal pinisi. Umumnya, panjang tiap kapal pinisi adalah 20 – 35 m, dengan bobot yang dapat mencapai ratusan ton. Seni pembuatan kapal pinisi berasal dari suku Konjo, sub-etnis suku Bugis yang mendiami bagian pesisir dari ujung selatan Pulau Sulawesi.

Sebagai suku dengan skill maritim yang melegenda, orang Bugis dikenal sebagai ahli navigasi, pelayaran, dan tentunya pembuatan perahu. Dengan kapal-kapalnya, orang-orang Bugis berlayar hingga ke daerah lain di Asia Tenggara, Australia hingga Afrika untuk merantau dan mencari peruntungan. Pinisi merupakan salah satu cerminan falsafah hidup masyarakat Bugis pesisir untuk mengembara di lautan lepas. Dengan perahu sebagai kaki untuk hidup, dan mencari penghidupan.

Legenda seputar pinisi banyak terdengar. Beberapa masyarakat setempat percaya kalau asal-usul pinisi berangkat dari cerita Sawerigading, seorang tokoh sentral dalam sastra epik Bugis Sureq Galigo yang diperkirakan ditulis antara abad 13 dan 15.

Legenda menceritakan bagaimana Sawerigading yang merantau ke negeri Tiongkok, mencoba untuk melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak kembali ke tempat asalnya di tanah Bugis. Kapalnya pun hancur diterjang badai, dan pecahan kapalnya berserakan hingga ke perairan Bulukumba. Pecahan-pecahan kapal itulah yang ditemukan warga setempat dan dijadikan sebuah kapal baru yang dikenal sebagai pinisi.

Akan tetapi, para ahli dan sejarawan memperkirakan kalau pinisi mulai ada di perairan Nusantara pada pertengahan abad 19 sebagai kapal kargo untuk perdagangan. Bentuk kapal pinisi yang seperti sekarang ini merupakan hasil dari gabungan berbagai elemen pembuatan kapal tradisional di Sulawesi, seperti sistem layar tanjaq serta lambung dasar tipe pa’dewakang atau palari. Elemen-elemen tradisional ini kemudian digabungkan dengan teknik pembuatan schooner atau sekunar yang diperkenalkan oleh orang-orang Eropa pada masa kolonial.

Travelers dapat mempelajari dan melihat langsung pembuatan kapal-kapal pinisi di Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, atau sekitar 5 – 6 jam perjalanan dari Makassar dengan kendaraan pribadi. Di wilayah pesisir ini, terdapat tiga desa yang identik dengan kesenian pinisi, yaitu Ara, Bira, dan Lemo-Lemo. Mata pencaharian utama masyarakat di ketiga desa itu adalah pembuatan kapal yang masih ditekuni hingga saat ini, salah satunya kapal pinisi.

Jelas, pembuatan tiap kapal pinisi membutuhkan waktu dan uang yang tidak sedikit. Pemesanan satu buah kapal pinisi dapat menghabiskan ratusan juta hingga milyaran rupiah, dengan waktu pengerjaan setidaknya 4 bulan, hingga bertahun-tahun.

Ahli pembuat kapal pinisi disebut sebagai panrita lopi atau punggawa. Tidak sembarang orang dapat menjadi punggawa. Kalau bukan karena bakat dan keterampilan yang istimewa, hanya garis keturunanlah yang dapat menentukan seseorang untuk bisa menjadi seorang punggawa yang dihormati penduduk setempat. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas lahirnya sebuah kapal, punggawa dituntut untuk menguasai setiap aspek dalam pembuatan kapal pinisi, dari segi teknik maupun nilai-nilai kesakralan yang harus diperhatikan.

Tanpa desain tertulis, para punggawa merangkai kapal untuk tiap sambalu, pemesan yang mendanai pembangunan kapal. Dalam prosesnya, punggawa dibantu oleh sejumlah sawi dengan tugasnya masing-masing. Sebagai sebuah bentuk kesenian turun-temurun, tiap pembuatan pinisi disertai dengan serangkaian upacara adat dalam tiap tahap pembuatannya. Kapal merupakan ‘anak’ dari para punggawa. Dan tiap upacara mengibaratkan pinisi bagai seorang anak yang baru lahir, sehingga punggawa perlu memimpin berbagai ritual demi mendoakan keselamatannya.

Dimulai dari memilih kayu, yang biasanya dilakukan di hari ke-5 atau ke-7 dari setiap bulan karena dipercaya sebagai hari baik dan dapat mendatangkan rezeki. Kayu yang umum digunakan sebagai bahan pembuatan kapal pinisi adalah kayu besi, ulin dan pude untuk bagian fondasi kapal, dan kayu jati untuk kamar dan bagian lain yang tidak langsung terkena air laut. Upacara adat saat proses mencari kayu dikenal sebagai Anna’bang Kalabiseang, yang dilaksanakan seiring kayu yang telah dipilih sebagai lunas, jatuh ke tanah.

Sebagai fondasi utama dan tulang dari kapal, bagian lunas atau kalabiseang memegang peranan penting dan menjadi hal pertama yang diproses dalam pembangunan pinisi. Bagian yang berada di bawah kapal ini dulunya hanya terbuat dari kayu pohon bitti yang terkenal akan kekokohannya dan sering dijadikan tiang rumah penduduk setempat. Namun saat ini banyak juga pinisi yang memakai kayu besi sebagai lunasnya. Proses pemotongan dan penyatuan bagian dari lunas juga disertai dengan upacara Annattara, ritual yang melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan dalam pernikahan.

Tahap selanjutnya adalah proses memasang dinding atau kulit kapal, kemudian rangka perahu yang mengikuti kulit kapal. Proses ini menjadi salah satu keunikan pembuatan pinisi dibanding kapal-kapal lain yang umumnya mendahulukan pemasangan kerangka.

Badan yang membentuk lambung kapal pun menjadi tahap berikutnya. Papan-papan kayu disatukan dengan metode sambungan layaknya susunan batu bata, yang kemudian dipasak, direkatkan, dan didempul. Badan kapal lalu ditutup dengan geladak atau deck, serta penambahan ruang-ruang kamar di atasnya.

Peluncuran kapal pinisi ke laut juga disertai upacara tolak bala, yaitu Appasili. Tahap berikutnya, para punggawa membuat pusar di tengah-tengah bagian lunas dalam upacara Ammosi Biseang. Upacara ini mengibaratkan ritual ‘pemotongan tali pusar’ pada bayi yang baru lahir.

Setelah kapal pinisi terapung di lautan, kedua tiang serta ketujuh layar yang menjadi ikon pinisi pun dipasang. Sebagai sentuhan terakhir, kapal dihias dan diisi dengan berbagai furnitur istimewa sesuai keinginan para sambalu.

Saat ini fungsi pinisi memang bukan lagi sebagai pengangkut kargo antarpulau, dan lebih banyak difungsikan sebagai kapal pesiar untuk tujuan wisata. Travelers bisa menemukan berbagai paket trip sailing atau live-on-board dengan pinisi di Teluk Jakarta, Bali, Labuan Bajo, Raja Ampat, dan lain sebagainya. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti bar atau Jacuzzi, kapal-kapal pinisi yang dibangun di bantilang atau galangan tradisional yang sederhana, mengapung di perairan biru bagai hotel bintang lima di tengah samudra. Dengan kisaran harga sewa yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per malamnya.

Meski saat ini semua kapal pinisi telah dibantu tenaga mesin, pinisi dianggap sebagai salah satu kapal layar di dunia yang masih berlayar di era modern seperti saat ini. Pada tahun 2017, UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal pinisi sebagai warisan budaya dunia yang harus dilestarikan.

Selain menjadi kebanggaan Indonesia, seni pembuatan pinisi secara tradisional yang masih bertahan di Sulawesi Selatan ini mencerminkan bagaimana ilmu pelayaran dan kelautan telah lama mengakar di darah masyarakat Nusantara. Dengan berbagai legenda dan kehebatannya menerjang ombak di atas samudra, pinisi mungkin menjadi bukti kalau benar, ‘nenek moyangku seorang pelaut.”

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy, Cece Chan

  • Catatan

    Pinisi semakin dikenal dunia sejak Expo Vancouver tahun 1986, saat Indonesia mengirimkan pinisi dari Jakarta menyeberangi Samudra Pasifik hingga ke Vancouver, Kanada.

Sepak Bola Tak Bergawang

Sekilas, mungkin permainan paraga mengingatkan Travelers akan sepak takraw di sejumlah daerah Melayu. Di mana sejumlah laki-laki bermain mengendalikan bola yang terbuat dari rotan dengan kaki mereka. Hanya saja, permainan khas Bugis dan Makassar ini memiliki sejumlah ciri khas yang menonjol. Sehingga permainan ini sering dikategorikan lebih dari sebatas olahraga atau permainan tradisional saja, tapi juga sebuah bentuk kesenian yang sarat akan nilai-nilai tradisi.

Menurut naskah-naskah lontara, paraga (sering juga disebut a’raga atau ma’raga) telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar setidaknya sejak zaman Kerajaan Gowa – Tallo. Bahkan ada yang menyebut bahwa paraga pertama kali dimainkan pada masa To Manurung, sosok yang diyakini sebagai raja Gowa pertama.

Awalnya paraga hanya dimainkan oleh kaum bangsawan dan dipertunjukkan pada saat acara tertentu saja, seperti penobatan raja atau penerimaan tamu-tamu istimewa. Seiring waktu, paraga berkembang menjadi permainan rakyat yang juga digemari masyarakat umum, bahkan menjadi ajang ketangkasan dan kejantanan tiap bujang yang ingin menarik hati para gadis pujaannya. Di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, paraga juga menjadi salah satu media komunikasi selama penyebaran agama Islam.

Paraga dimainkan oleh 5-15 orang dan umumnya oleh kaum adam saja. Pemain paraga harus mengenakan pakaian tradisional Bugis – Makassar, lengkap dengan passapu atau destar khas daerah setempat yang menjadi salah satu elemen penting dari permainan ini. Paraga biasanya juga diiringi dengan pemain musik. Alat musik tradisional seperti gong, gendang, pui-pui dan calung-calung kerap meramaikan atraksi ini.

Bola raga yang terbuat dari anyaman rotan menjadi atribut utama dari paraga. Dengan kaki, tangan, dan kepala, para pemain memainkan bola raga dan mengendalikannya agar tidak jatuh ke tanah. Bola raga juga dimainkan dalam berbagai posisi. Mulai dari berdiri, duduk di tanah, posisi jongkok maupun rebah. Para pemain juga bisa men-juggle bola raga di tangan, lengan atau bahu mereka. Bahkan para pemain juga bisa menangkap dan menahan bola raga di kepala dengan bantuan passapu.

Biasanya para pemain akan membentuk formasi lingkaran dan memegang kendali bola raga secara bergantian. Tiap pemain akan mendapat kesempatannya masing-masing, mereka tidak boleh merebut bola dan harus menunggu giliran untuk dioper. Peraturan ini merupakan sebuah cerminan nilai tradisional akan pembagian peran dalam kehidupan sehari-hari. Saat mengendalikan dan mengoper bola raga, para pemain paraga juga menyelingi gerakan-gerakan seperti tarian yang mengikuti irama musik yang ada.

Salah satu hal menarik dari paraga sebagai atraksi yang mengundang penonton terdapat di sejumlah formasi yang para pemain bentuk. Ada beberapa jenis formasi ‘menara’, di mana para pemain saling mengangkat atau appanca dalam bahasa setempat. Susunan formasi menara dapat terdiri dari 6 orang, dan orang yang berada di puncak formasilah yang mengendalikan bola raga dengan tangkasnya. Formasi menara ini dipercaya mencerminkan nilai gotong-royong dalam budaya Bugis – Makassar.

Meski sudah berusia ratusan tahun, semangat masyarakat setempat untuk melestarikan paraga masih dapat terlihat, dengan generasi tua dan muda yang bermain bersama. Paraga memang mengandung nilai-nilai tradisional Bugis dan Makassar yang telah ada sejak zaman kerajaan terdahulu. Meski dalam sejarahnya, paraga terus beralih fungsi, diawali dari kegiatan kerajaan yang berkembang menjadi permainan tradisional, kini paraga dirayakan sebagai salah satu atraksi yang turut mewarnai ragam budaya di Indonesia.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Rezki Sugiarto Nurdin

Tuah Tani di Ujung Tanduk

Sebagai negara agraris, sedari dulu pertanian kerap menjadi sandaran hidup bagi mayoritas penduduk Indonesia. Panen yang melimpah ruah merupakan salah satu target dan harapan bersama. Yang senantiasa tercapai lewat tanah yang subur serta curah hujan yang mendukung.

Namun ada banyak budaya di Indonesia yang percaya bahwa suatu upacara adat tertentu juga dapat menentukan nasib panen mereka ke depannya. Salah satu contohnya dapat diamati lewat Kebo-keboan, sebuah upacara unik khas suku Using dari Banyuwangi.

Tradisi ini hanya dapat ditemukan di dua tempat. Desa Aliyan di Kecamatan Rogojampi menyebutnya Keboan, sedangkan Desa Alasmalang di Kecamatan Singojuruh mengenalnya dengan nama Kebo-keboan. Tradisi menarik ini juga hanya diselenggarakan setahun sekali di bulan Sura (Suro), bulan sakral dalam penanggalan Jawa yang juga bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Islam.

Upacara ini memang menyiratkan simbolisme akan sejumlah elemen penting dalam budaya Jawa seputar pertanian. Mulai dari benih padi, lahan sawah, hingga figur Dewi Sri. Namun yang paling menonjol dalam upacara ini tentu ada di penggambaran kerbau sebagai hewan sentral dalam pertanian, mulai dari masa tanam hingga panen tiba. Yang menjadi ciri khas dalam tradisi ini adalah penampilan sejumlah kerbau jadi-jadian, yaitu puluhan pria yang didandani dan bertingkah menyerupai seekor kerbau.

Tradisi ini konon telah ada selama ratusan tahun di Banyuwangi. Sejumlah cerita rakyat mengisahkan asal-usul yang dimulai dari wabah penyakit dan hama panen. Untuk mendapat solusi dari pandemik yang meresahkan ini, seorang tetua desa pergi bermeditasi (Buyut Wongso Kenongo dalam cerita versi Desa Aliyan, atau Buyut Karti dalam versi Desa Alasmalang).

Di versi Desa Aliyan, meditasi ini mengakibatkan seseorang yang tiba-tiba berguling-guling di persawahan layaknya seekor kerbau. Sedangkan menurut versi Desa Alasmalang, meditasi itu membuahkan wangsit yang mengimbau diadakannya suatu ritual untuk Dewi Sri sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran.

Kebo-keboan dan Keboan melibatkan para pria yang didandani dengan tanduk dan kuping kerbau buatan. Lengkap dengan rambut yang terbuat dari tali rafia atau wig, dan kalung klonthong yang biasa digunakan sapi atau kerbau. Kemudian seluruh tubuh hingga wajah mereka dilumuri cairan hitam yang terbuat dari jelaga atau arang yang dicampur dengan minyak atau oli. Dilengkapi hanya dengan celana pendek berwarna hitam, sejumlah pria desa ini pun menjelma jadi manusia kerbau dengan sorot mata yang beringas, bagai sosok Minotaur dalam mitologi Yunani kuno.

Namun tidak semua warga bisa menjadi kebo. Di Desa Alasmalang, pemuka adat setempatlah yang menentukan siapa yang dapat berpartisipasi sebagai ‘manusia kerbau’. Sedangkan di Desa Aliyan, arwah leluhurlah yang dipercaya untuk menuntun keputusan ini. Seperti banyak tradisi serupa di Nusantara, Kebo-keboan dan Keboan memang sarat akan unsur mistik. Di mana para kebo yang in trance atau kerasukan merupakan bagian penting dari prosesi ini.

Seluruh penduduk desa bergotong royong sejak beberapa hari sebelum upacara ini dimulai. Selain mereka yang menjadi kebo, tradisi ini juga melibatkan partisipasi banyak orang untuk serangkaian proses upacara yang umumnya dilewati. Dimulai dengan pembuatan gapura yang terbuat dari bambu dan janur, yang dihias dengan sayur-mayur, buah-buahan, dan berbagai hasil bumi lainnya. Seluruh masyarakat juga bahu membahu menyiapkan tumpeng dan makanan lain yang akan dinikmati bersama dalam slametan atau kenduri.

Salah satu tahapan penting dari upacara adat ini adalah ider bumi, yaitu arak-arakan yang diikuti oleh para kebo beserta pawangnya, segenap barong, pemain angklung dan gamelan, serta seorang wanita yang menjadi representasi Dewi Sri. Ider bumi yang bermakna ‘mengelilingi bumi’ itu sendiri merupakan tradisi masyarakat suku Using untuk menjauhkan desa dari petaka, niat jahat, maupun gangguan makhluk gaib. Ider bumi umumnya dilakukan beramai-ramai dengan pembacaan berbagai doa sambil mengitari desa.

Yang menjadi panggung utama dari upacara ini adalah sebuah kubangan lumpur di atas lahan sawah yang sudah ditentukan. Di sinilah puluhan kebo beraksi menjaga lahan sawah mereka dengan bertingkah seperti kerbau yang menarik bajak. Umumnya tiap kebo ditemani seorang pawang yang menggiring mereka dengan tali. Di atas kubangan ini ditebar benih padi yang dipercaya dapat membawa keberuntungan dalam panen yang akan datang. Masyarakat sekitar akan mencoba untuk mengambil benih-benih tersebut, melewati para kebo yang menghalangi mereka dan siap menerjang mereka ke lumpur jika tertangkap.

Sebagai penutup keseluruhan upacara, pada malam harinya diadakan pertunjukan wayang Sri Mulih, lakon yang menceritakan kembalinya Dewi Sri yang membawa kesuburan di negerinya. Cerita Dewi Sri ini seolah menyempurnakan Kebo-keboan dan Keboan yang bukan sebatas tradisi penangkal bala, namun juga ungkapan syukur akan panen yang telah didapat dan pengharapan akan panen yang akan datang nantinya.

Ritual Keboan di Desa Aliyan dan Kebo-keboan di Desa Alasmalang terus hidup hingga saat ini, sebagai bentuk pelestarian budaya yang berkembang menjadi salah satu sajian dari banyaknya program pariwisata di Banyuwangi. Prosesinya selalu dipadati oleh ratusan masyarakat dan wisatawan yang ingin menyaksikan keseruan acara ini. Tanpa mengurangi kesakralan akan tradisi itu sendiri sebagai salah satu contoh kerekatan nilai budaya Indonesia dengan alamnya, dan cerminan akan nilai gotong royong yang masih sangat mengakar dalam masyarakatnya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Ayub Ardiyono