Api Kemerdekaan yang Tak Akan Padam

“Belum ke Jakarta, jika belum ke Monas.” Penggalan komentar yang tak jarang terdengar di telinga ini, terutama dari warga luar Jakarta, seakan menggambarkan posisi Monas sebagai ikon kota Jakarta. Bahkan lebih dari itu, Monas juga sering dijadikan ikon dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah keluarnya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden Soekarno mulai menggagaskan pembangunan sebuah monumen megah yang berlokasi di lapangan depan Istana Merdeka.

Monumen ini bertujuan untuk mengenang dan mengabadikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus menginspirasi semangat patriotisme pada generasi penerus bangsa.

Monumen yang akrab disebut Monas ini akhirnya mulai dibangun pada 17 Agustus 1961, diarsiteki oleh Frederich Silaban dan R. M. Soedarsono, lalu diresmikan serta dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto.

Monas

Monas yang kian menjadi simbol semangat perjuangan dan kemerdekaan Republik Indonesia.

Layaknya sebuah monumen negara, Monas pun dibangun sarat dengan simbol dan makna. Adalah ide dari Presiden Soekarno untuk membentuk Tugu Monas dengan konsep lingga dan yoni. Tugu obelisk yang menjulang setinggi 117,7 m adalah lingga yang melambangkan aspek maskulin, sedangkan pelataran landasan obelisk adalah yoni yang melambangkan aspek feminin. Keduanya melambangkan kesatuan Indonesia yang harmonis dan saling melengkapi sejak dahulu kala.

Di puncak Monas pun terdapat bentuk cawan yang menopang api dengan berat 14,5 ton dan dilapisi emas 35 kg. Bagian yang disebut lidah api ini adalah simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Awal dibangun, lidah api dihiasi oleh lapisan emas seberat 35 kilogram, di mana 28 kilogramnya adalah hadiah dari seorang saudagar bernama Teuku Markam dari Aceh. Akan tetapi, pada ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-50, lapisan emas pada lidah api ditambah lagi beratnya hingga 50 kilogram. Lidah api yang tidak pernah padam ini menjadi sebuah simbol agar kita senantiasa memiliki semangat perjuangan yang terus membara.

Banyak aktivitas yang Travelers dapat lakukan ketika berada di Monas. Elevator pada pintu sisi selatan akan membawa Travelers ke puncak Monas untuk melihat pemandangan Jakarta dari ketinggian. Ada pula Museum Sejarah Nasional Indonesia yang memamerkan 51 diorama mengenai sejarah Indonesia sejak masa prasejarah hingga masa Orde Baru.

Peta Indonesia

Peta Indonesia berlapis emas yang terletak di dalam Monas.

Travelers juga dapat melihat beberapa simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia di dalam Ruang Kemerdekaan, peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, serta naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas. Gerbang ini dihiasi ukiran bunga wijayakusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga teratai yang melambangkan kesucian.

Beranjak ke halaman Monas, Travelers dapat melihat relief yang menggambarkan sejarah Indonesia di tiap sudutnya. Relief ini secara kronologis menggambarkan sejarah bangsa Indonesia dalam meraih kejayaan. Mulai dari masa Majapahit, penjajahan Belanda, perlawanan rakyat dan pahlawan-pahlawan nasional, kependudukan Jepang dan Perang Dunia II, proklamasi kemerdekaan Indonesia, hingga masa pembangunan Indonesia modern.

Selain itu Travelers yang berkunjung di akhir pekan juga dapat menikmati pertunjukan air mancur diiringi lagu-lagu Indonesia pada pukul 19:30 dan 20:30 WIB. Untuk Travelers yang tidak ingin kelelahan saat mengelilingi Monas, dapat menggunakan fasilitas kereta gratis di setiap halte yang disediakan.

Dengan berbagai cerita di balik pembangunannya, bagi Travelers yang ingin mengenal lebih dalam mengenai sejarah Indonesia sembari ditemani berbagai aktivitas menarik, maka Monas adalah pilihan situs yang tepat untuk dikunjungi selama di Jakarta. Begitu kental dan signifikannya sosok Monumen Nasional ini dalam sejarah Indonesia, sehingga menjelajahi ibu kota pertama Indonesia pun rasanya belum lengkap kalau tak mampir ke Monas.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : George Timothy, Iqbal Fadly

  • Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta

  • Hubungi

    (021) 3822255

  • Jam Operasional

    Buka setiap hari, Senin – Minggu (pukul 08.00 – 22.00 WIB)

  • Informasi
    • Mulai dibangun : 17 Agustus 1961
    • Selesai : 12 Juli 1975
    • Diresmikan : 12 Juli 1975
    • Tinggi : 137 meter
    • Arsitek : Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono
    • Kontraktor Utama : P.N. Adhi Karya (tiang fondasi)
    • Bentuk Tugu Monas kerap ditafsirkan sebagai sepasang alu dan lesung. Kedua alat penumbuk padi ini seyogyanya selalu ada dalam rumah tangga petani tradisional di
      Indonesia. Interpretasi ini semakin mengokohkan makna Monumen Nasional sebagai bangunan memorial akan sejarah bangsa dengan balutan budaya Indonesia yang kental.

Di Mana Pusaka Bermuara

Indonesia tentu memiliki daftar panjang akan benda pusaka yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Mulai dari mahkota yang pernah bersandar di atas kepala raja-raja, keris dan pedang berhiaskan emas permata, hingga pahatan dengan detail mengagumkan pada lukisan batu dari era megalitikum.

Semua benda pusaka menceritakan kehidupan manusia dan kebudayaan yang membentuknya, dengan ragam rupa dan warna yang mencerminkan kebinekaan Indonesia. Dan saat ini, tidak ada tempat yang lebih menyeluruh untuk mengenal dan mempelajari ribuan pusaka Nusantara selain di Museum Nasional Indonesia.

Museum Nasional Indonesia terletak di jantung kota Jakarta, tepatnya di wilayah Medan Merdeka yang telah tumbuh menjadi area strategis bahkan sejak zaman Hindia-Belanda. Dengan jumlah koleksi yang saat ini mencapai lebih dari 140.000 objek, museum yang berdiri di area seluas 26.500 m2 ini merupakan salah satu museum terbesar di Asia Tenggara dan salah satu museum tertua di Asia.

Sejarah Museum Nasional Indonesia dimulai pada abad ke-18, saat Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment) menyelimuti Belanda dan seluruh Eropa dengan revolusi intelektual dan semangat akan ilmu pengetahuan.

Pada tahun 1778, orang-orang Belanda di Batavia membentuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga yang fokus terhadap penelitian akan seni dan ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda. Dengan moto “Ten Nutte van het Algemeen”, lembaga ini bertekad untuk bergerak demi kepentingan masyarakat umum.

Patung karya Nyoman Nuarta

Patung karya Nyoman Nuarta yang menyimbolkan arus perjuangan ini menjadi salah satu ikon dari Museum

Bataviaasch Genootschap pun aktif mengumpulkan berbagai artefak budaya maupun peninggalan bersejarah di sekitar Hindia-Belanda. Meski hanya diawali dengan sumbangan dari koleksi pribadi JCM Radermacher sebagai salah satu pendiri lembaga, koleksi Bataviaasch Genootschap terus bertambah seiring berjalannya waktu.

Hingga pada tahun 1862, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan gedung baru untuk menampung koleksi yang telah mencapai ribuan. Gedung yang resmi dibuka untuk umum pada tahun 1868 itu masih dipakai hingga saat ini sebagai bagian dari Museum Nasional Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, koleksi Bataviaasch Genotschap yang terkumpul selama ratusan tahun dipercayakan kepada Museum Nasional Indonesia dan Perpustakaan Nasional. Sejak itu, Museum Nasional Indonesia memegang peranan penting sebagai salah satu penjahit identitas bangsa lewat koleksinya.

Tidak hanya benda pusaka atau benda bersejarah saja, berbagai instrumen budaya seperti kerajinan, alat musik dan rumah tradisional dengan jenis yang begitu beragam dari seluruh penjuru Indonesia juga dapat dipelajari di museum ini.

Selain dari gedung asli yang dibangun pemerintah Hindia-Belanda, area museum juga terus mengalami perluasan dan revitalisasi. Koleksi museum di Gedung Gajah terbagi dalam 7 jenis: Arkeologi, Etnografi, Geografi, Keramik, Numesmatik & Heladrik, Prasejarah dan Sejarah. Sedangkan jenis koleksi di Gedung Arca mencakup Manusia & Lingkungan, Ilmu Pengetahuan, Ekonomi dan Teknologi, Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman, serta Koleksi Emas dan Keramik Asing.

Koleksi museum juga kian bertambah lewat sejumlah temuan arkeologi terkini. Pengembalian 1,500 benda bersejarah Indonesia oleh Kerajaan Belanda baru-baru ini juga menambah daftar koleksi di Museum Nasional, dan akan mulai dipamerkan ke publik di pertengahan 2020 mendatang.

Taman Arca

Taman Arca, Museum Nasional Indonesia

Bagian dari museum lainnya yang ikonik adalah Taman Arca yang menampung jajaran arca dalam berbagai bentuk dan ukuran, serta dari tempat dan waktu pembuatan yang juga bervariasi. Salah satu arca yang menonjol adalah Arca Bhairawa yang ditemukan di Sumatra Barat dan menjulang setinggi 4,4 m.

Selain Taman Arca, di area museum terdapat juga Taman Sanken yang kerap menjadi tempat diselenggarakannya berbagai kegiatan museum. Museum Nasional Indonesia banyak mengadakan aktivitas edukasi seperti seminar, diskusi, pameran, pementasan maupun kelas-kelas kesenian tradisional yang terbuka bagi umum.

Arca Bhairawa

Arca Bhairawa yang ditemukan di Sumatra Barat

Hampir setiap negara di dunia memiliki museum nasionalnya sendiri sebagai rumah bagi sejumlah national treasure dan jendela bagi identitas bangsa dan negaranya. Museum Nasional Indonesia memaparkan berbagai cerita kehidupan dalam seluruh lintas sejarah manusia di Indonesia, menjembatani generasi mendatang dengan nenek moyangnya lewat berbagai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan yang terwariskan dalam tiap pusaka. Dan lewat koleksinya yang begitu beragam, Museum Nasional Indonesia adalah presentasi istimewa dari kemajemukan Indonesia yang patut untuk dibanggakan.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramdhani, Nelce Muaya

  • Jl. Medan Merdeka Barat No.12, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110

  • Hubungi

    (021) 3868172

  • Jam Operasional

    Buka hari Selasa – Jumat (pukul 08.00 – 16.00 WIB) dan hari Sabtu – Minggu (pukul 08.00 – 17.00 WIB)


Merindu Batavia

Sebagai ibu kota, kota terbesar dan terpadat di Indonesia saat ini, tiap sudut di Jakarta penuh dengan sejarah dan cerita yang membentuk Indonesia. Riwayat Jakarta sendiri dimulai ratusan tahun sebelum Indonesia lahir. Prasasti Tugu yang ditemukan di Koja, Jakarta Utara membuktikan bahwa daerah ini telah ramai sejak abad ke-5 M sebagai pelabuhan Kerajaan Tarumanegara.

Berabad-abad setelahnya, berbagai kekuatan politik silih berganti meninggalkan jejaknya di daerah ini. Namun wujud yang berperan besar dalam pembentukan kerangka Jakarta sebagai kota modern adalah bangsa Belanda lewat VOC dan masa pendudukannya atas Nusantara, yang di masa kolonial dikenal sebagai Hindia-Belanda.

VOC atau Verenigde Oostindiche Compagnie adalah kongsi dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602. VOC lahir dalam semangat Abad Penjelajahan (Age of Discovery) yang tengah melanda bangsa Eropa untuk berlomba-lomba menjelajah dunia. Demi menemukan sumber kekayaan baru, atau kejayaan atas bangsa lain.

Di awal abad ke-17, Jayakarta adalah kota pelabuhan yang ramai berkat perdagangan rempah. VOC meliriknya sebagai lokasi yang tepat untuk membangun sebuah koloni. Lewat sejumlah kesepakatan dan kekerasan, VOC berhasil menyingkirkan berbagai pesaingnya di atas Jayakarta. Dan nama baru untuk kota ini pun diresmikan pada 1621: Batavia.

Batavia dirancang sebagai markas besar VOC yang berambisi untuk menguasai perdagangan rempah di Nusantara. Gedung-gedung pun didirikan, kanal-kanal digali, dan jalan-jalan dibentangkan. Saat ini, lebih dari 350 tahun kemudian, masih banyak bangunan peninggalan VOC yang tersisa di Jakarta. Setiap bangunan kolonial ini memiliki pesonanya tersendiri lewat arsitektur khas Eropa yang mencolok. Meski banyak yang tidak dibuka untuk umum, ada juga beberapa bangunan peninggalan yang dialihfungsikan sebagai tempat rekreasi dan akan menjadi tujuan yang tepat bagi Travelers pecinta wisata sejarah.

Salah satu peninggalan kolonial yang paling terkenal adalah kawasan Kota Tua Jakarta yang mulai dikembangkan sejak berdirinya Batavia. Deret bangunan buatan Belanda yang masih berdiri membuat suasana kolonial masih sangat kental di sini.

Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta

Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta

Kawasan Kota Tua berpusat pada Taman Fatahillah dan Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah yang dulunya berfungsi sebagai balai kota Batavia. Bangunan yang dulu dikenal sebagai Stadhuis ini dibangun pada tahun 1627, namun direnovasi pada tahun 1710 ke bentuk seperti sekarang dengan desain yang terinspirasi dari istana Kerajaan Belanda di Amsterdam. Sesuai namanya, saat ini Museum Sejarah Jakarta menjadi sarana edukasi tentang sejarah Jakarta yang komprehensif.

Masih di Kawasan Kota Tua, Museum Seni Rupa dan Keramik juga tak kalah menarik untuk dikunjungi. Gedung yang kini menjadi rumah bagi banyak lukisan dari berbagai maestro tanah air ini dulunya berfungsi sebagai Dewan Pengadilan Tinggi Batavia dan dibangun pada tahun 1870.

Museum Seni Rupa dan Keramik

Museum Seni Rupa dan Keramik

Ada juga Museum Wayang yang memamerkan koleksi berbagai jenis wayang dari seluruh Indonesia. Gedung Museum Wayang sendiri dibangun pada 1640 sebagai gereja, sehingga di areal museum masih terdapat batu nisan dari Jan Pieterszoon Coen, Gubernur-Jenderal VOC dan salah satu pencetus Batavia. Setelah puas mengelilingi Kota Tua, sempatkan untuk singgah di Café Batavia yang telah berdiri sejak 1830 dan terkenal karena desain interiornya yang iconic.

Batavia berkembang pesat sebagai pusat perdagangan yang sejahtera. Dengan deretan vila di tepi kanal yang dikelilingi rimbun hijau pepohonan tropis khas Nusantara, kota kecil ini sempat dijuluki ‘The Jewel of Asia’ karena keelokannya. VOC pun semakin dikenal dunia sebagai kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang patut diperhitungkan. Namun seiring VOC terus memperluas kekuasaan ke berbagai daerah di Nusantara, Batavia pun, sebagai salah satu kota pelabuhan tersukses di dunia pada saat itu, menjadi semakin padat dan bertambah besar.

Di pertengahan abad ke-18, dengan populasi yang terus bertambah dan sanitasi yang kurang baik di pusat kota, pembangunan di Batavia merambah hingga ke luar benteng Kota Tua. Daerah Weltevreden (kini menjadi Sawah Besar) pun lahir. Salah satu jejak kolonial yang tersisa di daerah ini adalah Gedung Arsip Nasional yang didirikan pada tahun 1760 sebagai kediaman Reiner de Klerk, salah satu gubernur jenderal VOC. Pada tahun 1797, areal permakaman juga dibangun di sekitar Weltevreden, seiring dengan mewabahnya malaria yang memakan begitu banyak korban, terutama di kalangan orang Eropa. Konon, korban yang begitu banyak juga sempat membuat Batavia dijuluki ‘The Cemetery of European’. Areal permakaman itulah yang kini dikenal sebagai Museum Taman Prasasti, salah satu areal permakaman modern tertua di dunia.

Cafe Batavia

Cafe Batavia

Di akhir abad ke-18, VOC mengalami kemunduruan. Secara eksternal, berbagai perang yang berkecamuk di Eropa dan perlawanan sejumlah kerajaan di Nusantara sendiri menggoyahkan perekonomian Belanda. Korupsi besar-besaran dalam internal kompeni juga memperburuk keadaan, sehingga VOC tak mampu lagi bersaing dengan kompetitornya dan menjadi bangkrut. Pada tahun 1800, VOC resmi dibubarkan. Seluruh aset kolonialnya dipindahkan ke tangan Kerajaan Belanda, termasuk seluruh bagian dari Hindia-Belanda. Dan Batavia, tentunya.

Batavia pun memasuki era baru dengan datangnya abad ke-19. Tiap bangunan dari era ini dapat ditandai lewat gaya arsitektur Indies Empire, yaitu gaya Neoklasikisme Eropa yang beratap tinggi untuk menyesuaikan iklim tropis Hindia-Belanda. Seperti dalam desain Paleis te Rijswijk, istana megah yang selesai dibangun pada 1804 sebagai kediaman gubernur – jenderal dan pusat segala aktivitas pemerintahan Hindia-Belanda.

Kegiatan administrasi yang semakin kompleks dan membutuhkan lebih banyak ruang membuat tercetusnya pembangunan istana baru. Paleis te Koningsplein pun berdiri pada tahun 1873. Kedua istana ini kini dikenal sebagai Istana Negara & Istana Merdeka, bagian dari istana kepresidenan serta pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Istana Negara Jakarta

Istana Negara Jakarta

Pusat kota pun berpindah ke sekitar istana gubernur – jenderal yang baru, yang sekarang menjadi kawasan Gambir dan sekitarnya. Selain aktivitas pemerintahan, Kawasan ini juga difokuskan untuk menjadi pusat pelatihan militer dan pemukiman kaum elite Batavia. Sarana hiburan dalam bentuk gedung teater mulai dibangun pada tahun 1814 oleh Stamford Raffles saat pendudukan singkat Inggris di Batavia.

Setelah Batavia kembali ke tangan Belanda, gedung yang sekarang menjadi Gedung Kesenian Jakarta itu direnovasi ke bentuk yang seperti sekarang. Ada juga Witte Huis yang dibangun pada 1828 sebagai kediaman pribadi Herman Willem Daendels dan kini menjadi bagian dari kompleks Kementrian Keuangan. Salah satu gereja tertua di Indonesia, Gereja Immanuel, juga didirikan di kawasan ini di tahun 1839.

Di penghujung abad ke-19, dunia berkembang pesat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai penemuan teknologi. Kehidupan di Batavia pun kian modern dengan pergerakan zaman. Trem mulai menghubungkan berbagai wilayah dalam kota Batavia pada 1869 dan tenaga listrik mulai menerangi Batavia sejak 1897. Saat itu wilayah Hindia-Belanda hampir mencakup keseluruhan wilayah Indonesia saat ini. Dan sebagai ibu kota, populasi Batavia kian membludak dengan para pendatang dari seluruh Nusantara.

Gedung Kesenian Jakarta

Gedung Kesenian Jakarta

Banyak yang merantau ke Batavia demi membina ilmu di STOVIA, perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berkumpulnya para kaum terpelajar Nusantara inilah yang menjadi awal pergerakan dan kesadaran para pribumi untuk bersatu sebagai bangsa yang merdeka dari Belanda. Hal itu dianggap sebagai salah satu tahap penting dalam sejarah Indonesia mencapai kemerdekaan, dan gedung STOVIA kini dapat dikunjungi sebagai Museum Kebangkitan Nasional.

Bangunan peninggalan dari awal abad ke-20 dapat ditandai lewat arsitektur gaya New Indies yang menggabungkan elemen arsitektur modern seperti Art Deco dengan elemen rumah-rumah tradisional di Hindia-Belanda. Contohnya terdapat pada Gedung Museum Bank Indonesia, yang dibangun pada tahun 1909 sebagai kantor dari De Javasche Bank, bank sentral Hindia-Belanda saat itu. Ada juga Gedung Filateli, kantor pos dan telegraf yang dibangun pada 1913 serta Gedung Museum Bank Mandiri yang mulai dibangun pada 1929 sebagai kantor perusahaan dagang dan perbankan milik Belanda.

Gedung Filateli Jakarta

Gedung Filateli Jakarta

Masa kejayaan Batavia berakhir saat Jepang merebutnya dari tangan Belanda pada tahun 1942, memulai masa penjajahan baru di atas Nusantara. Banyak orang Belanda dan Eropa yang meninggalkan Batavia demi menghindari buruan dari tentara Jepang. Nama kota ini pun dikembalikan ke nama sebelum kedatangan Belanda: Jayakarta atau Jakarta. Pada tahun 1945, seiring dengan kekalahan Jepang di Perang Dunia II, masyarakat pribumi di Hindia-Belanda menolak untuk kembali berada di bawah kekuasaan Belanda, dan lewat Proklamasi yang dibacakan pada 17 Agustus 1945, menyatakan merdeka sebagai negara Indonesia dengan Jakarta sebagai ibu kota.

Selama lebih dari 300 tahun, Jakarta dikenal dunia sebagai Batavia, kota pusat perdagangan rempah Asia dan pusat koloni Belanda di Asia Tenggara. Dari julukan ‘permata Asia’ hingga ‘kuburan orang Eropa’, riwayat Batavia mengalami naik dan turun seiring perkembangan zaman yang tercerminkan dalam bentuk peninggalan yang beragam. Dengan mempelajari sejarah Jakarta lewat bangunan-bangunan kolonialnya, kita dapat melihat Jakarta dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana kejayaan Batavia di masa lalu turut membuka jalan bagi Jakarta untuk menjadi seperti saat ini, sebagai salah satu kota terdepan di Asia Tenggara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Fauzi Ramdhani, Creativa Images, Nelce Muaya, Donni Yudha

  • Fakta :

    Nama Batavia diambil dari Batavi, salah satu suku di masa Kekaisaran Romawi yang diyakini sebagai leluhur orang Belanda.


Memiliki nama resmi Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, Gereja Katedral Jakarta adalah salah satu gereja Katolik tertua di Jakarta yang memiliki sejarah panjang dalam proses pembangunannya. Katedral yang berdiri sekarang ini bukanlah gedung gereja yang pertama kali dibangun. Bangunan awal gereja hanyalah sebuah rumah bambu berukuran kecil yang diresmikan pada tahun 1810.

Bangunan Katedral yang kita kenal sekarang adalah hasil rancangan Pastor Antonius Dijkmans yang pekerjaannya dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit dan akhirnya diresmikan serta diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Vikaris Apostolik Jakarta.

Memasuki Katedral melalui pintu utama, pengunjung akan disambut oleh patung Bunda Maria dengan tulisan Beatam Me Dicent Omnes Generationes yang artinya “Semua keturunan menyebut aku bahagia”. Uniknya, di Katedral ini patung Bunda Maria terlihat mengenakan baju motif batik dengan simbol burung garuda di bagian dada dan kerudung berwarna merah dan putih. Hal ini menyimbolkan bahwa Bunda Maria adalah sosok ibu dari setiap suku di Indonesia.

Gereja Katedral Jakarta

Ornamen puncak Gereja Katedral.

Secara umum, bangunan Gereja Katedral berciri khas Eropa dengan gaya Neogotik. Jendela-jendela besar yang tersebar di seluruh permukaan gereja dihiasi dengan lukisan karya seniman grafis Amsterdam, Theo Molkenboer, yang menceritakan tentang peristiwa Jalan Salib Yesus Kristus. Di bagian kanan dan kiri gereja juga terdapat bilik-bilik yang digunakan sebagai tempat pengakuan dosa. Sementara di bagian depan terdapat altar suci pemberian dari Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies yang masih digunakan sebagai altar utama dalam berbagai misa.

Bangunan gereja sendiri sengaja didesain menyerupai salib, dengan luas sekitar 35 m dan lebar 17 m. Mengikuti gaya arsitektur gereja Neogotik pada umumnya, Katedral memiliki tiga menara utama yang menjulang tinggi, yakni Menara Benteng Daud, Menara Gading dan Menara Angelus Dei. Terdapat pula tiga lonceng yang ditempatkan di menara Gereja Katedral, namun hanya lonceng terbesar yang secara reguler berbunyi tiga kali dalam sehari sebagai tanda dimulainya ibadah bagi umat Katolik.

Selain sebagai sebuah tempat ibadah, Gereja Katedral Jakarta juga terbuka untuk Travelers yang sekadar ingin menikmati keindahan dan keagungan interior serta eksterior bangunan gereja klasik ini. Saat Travelers berkunjung, sempatkan mampir ke Museum Katedral untuk menikmati berbagai artefak bersejarah yang dapat membangkitkan rasa kagum terhadap masa lampau. Buka setiap hari, kecuali hari Jumat, Museum Katedral tidak memungut biaya masuk, namun Travelers diharuskan mengisi buku tamu terlebih dahulu.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : George Timothy


Pembangunan monumental keagamaan sebagai lambang kejayaan telah menjadi sebuah tradisi bangsa Indonesia. Sebut saja pembangunan Candi Borobudur dan Prambanan pada zaman kerajaan Hindu-Buddha yang dijadikan bukti kejayaan bangsa pada masa itu. Maka tak heran apabila setelah meraih kemerdekaan dari penjajah, tradisi yang sama pun kembali terwujud dengan pembangunan Istiqlal, yang kemegahannya selaras dengan predikat Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia.

Gagasan awal untuk mendirikan masjid negara secara konkret di diskusikan pada tahun 1950, dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Menteri Agama RI pada saat itu, K.H. Abdul Wahid Hasyim, dan perwakilan dari Partai Syarikat Islam, H. Anwar Tjokroaminoto. Sejumlah tokoh Islam lainnya pun turut diundang untuk datang ke Deca Park, sebuah gedung pertemuan yang pada saat itu berlokasi di sebelah Istana Merdeka.

Perundingan ini menghasilkan pembentukan Yayasan Masjid Istiqlal sekaligus panitia pembangunan yang diketuai oleh H. Anwar Tjokroaminoto. Keputusan dan perencanaan lalu disampaikan kepada Presiden Soekarno dan langsung mendapat sambutan positif. Sayembara segera diadakan untuk memilih arsitek yang tepat dan setelah melewati beberapa tahap penilaian akhirnya kemenangan jatuh ke tangan seorang Kristen-Protestan kelahiran Sumatera Utara, Fredrerich Silaban. Penancapan tiang pertama dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan masjid pun mulai dibuka untuk umum pada 22 Februari 1978.

Kemegahan Masjid Istiqlal sendiri dilengkapi dengan berbagai simbolisme dalam arsitekturnya. Misalkan, tujuh gerbang masuk masjid masing-masing dinamai berdasarkan Asmaul Husna. Selain itu, angka tujuh juga melambangkan tujuh lapis langit dalam kosmologi alam semesta ajaran Islam. Bangunan utama masjid pun dimahkotai kubah dengan bentang diameter 45 m yang melambangkan tahun kemerdekaan Indonesia.

Berbeda dengan arsitektur masjid dengan pengaruh Arab, Persia, Turki maupun India yang memiliki banyak menara, Masjid Istiqlal hanya memiliki satu menara yang melambangkan keesaan Ilahi. Menara ini berukuran tinggi 66,66 m, melambangkan jumlah ayat dalam Alquran. Berbagai sarana dan fasilitas lain turut melengkapi masjid, mulai dari perpustakaan Islam, poliknik umum, madrasah, koperasi, sarana olahraga, hingga lift bagi teman difabel dan juga lansia.

Masjid yang mampu menampung lebih dari 200.000 jemaah ini juga menjadi rumah bagi beduk yang dinobatkan sebagai beduk terbesar di Indonesia. Hal ini tentunya menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Perlu diingat bahwa kecuali tamu resmi negara, Travelers non-Muslim tidak diperkenankan memasuki lantai pertama atau ruang utama tempat mihrab dan mimbar, namun tetap diperbolehkan melihat interior ruangan ini dari balkon di lantai dua. Selebihnya, semua area Masjid Istiqlal dapat dinikmati oleh semua orang yang ingin menginjakkan kaki di masjid yang namanya dalam bahasa Arab berarti ‘merdeka’ ini.

Artikel : Alisa Pratomo | Foto : George Timothy