Untuk Bergabung dengan Para Leluhur

Di seluruh dunia, kematian sering dianggap sebagai akhir dari segalanya. Di mana tangis menyatukan sanak saudara untuk berkumpul dalam duka akan kepergian anggota keluarga. Lain halnya dengan di Sumba, kematian dianggap sebagai sebuah langkah menuju awal yang baru.

Kematian orang Sumba kerap diupacarakan dengan mewah dan dimakamkan dengan megah dalam kubur batu megalitik (batu besar) yang tersebar di seluruh Pulau Sumba. Dengan tradisi penguburan yang unik, Sumba merupakan salah satu dari segelintir kebudayaan di dunia yang masih mempertahankan budaya megalitik hingga saat ini.

Dalam Marapu, sebutan untuk kepercayaan asli Sumba, kematian merupakan suatu perpindahan. Ketika seseorang meninggal, rohnya akan meninggalkan tubuh bagaikan udang dan ular menanggalkan kulitnya. Seperti yang tersebut dalam ungkapan adat ‘Njulu la kura luku, halubu la mandu mara’, yang artinya ‘Menjelma bagai udang sungai, berubah bagai ular darat’. Roh yang kekal diharapkan dapat mencapai Prai Marapu, alam baka atau surga tempat para leluhur Marapu berada. Namun, tiap roh akan sulit mendapat ketenangan jika belum dikebumikan dengan rangkaian upacara adat oleh keluarga yang masih hidup.

Tiap jenazah dibungkus dengan kain-kain tenun terbaik dan dimakamkan dengan posisi duduk meringkuk, layaknya posisi janin dalam kandungan. Hal ini menyimbolkan kelahiran kembali sang jenazah di dunia arwah. Jenazah kemudian disemayamkan selama beberapa hari di beranda rumahnya, sambil menunggu seluruh keluarga untuk berkumpul dan memberikan penghormatan terakhir, seperti me­nyumbangkan hewan korban atau bekal kubur. Setelah itu, jenazah akan diarak menuju tempat peristirahatan terakhir oleh seluruh keluarga dengan meriah.

Cerita di atas hanyalah gambaran kecil dari upacara kematian tradisional Sumba yang begitu kompleks. Tiap daerah di Sumba juga memiliki upacara yang bervariasi antara kampung yang satu dengan yang lainnya, dengan tata cara dan keunikannya tersendiri. Jenazah-jenazah tersebut umumnya dikubur dengan berbagai bekal kubur, mulai dari perhiasan tradisional, senjata, tempat sirih pinang, dan kain-kain tenun yang begitu berharga.

Tiap upacara biasanya melibatkan hewan korban yang rohnya dipercaya akan membantu perjalanan tiap roh manusia yang baru meninggal. Kuda dipercaya akan menjadi tunggangan roh mendiang di Prai Marapu, anjing dipercaya akan menunjukkan jalan dan menjaga roh tersebut, sedangkan ayam dipercaya akan membangunkan roh setibanya di alam seberang.

Tiap jenazah akan dikebumikan di kubur batu yang sudah menjadi pemandangan khas Pulau Sumba. Walau biasanya kubur batu berada di dalam perkampungan, Anda juga dapat menemukan kubur batu di pantai, perbukitan, maupun pinggir jalan. Terdapat beberapa jenis kubur batu di Sumba, mulai dari dolmen yang berbentuk seperti meja besar, hingga dolmen berundak yang berbentuk seperti peti batu yang tinggi dan besar.

Dulunya, seluruh kubur batu ini terbuat dari batu cadas alami dengan berat puluhan ton, dan membutuhkan tenaga ratusan orang untuk memindahkannya ke tempat kubur yang telah ditentukan. Proses ‘menarik batu’ oleh ratusan orang ini memiliki upacaranya tersendiri, yaitu Tingi watu.

Umumnya, kubur batu milik bangsawan disertai penji, semacam tugu dari batu yang dihias dengan ukiran-ukiran yang cantik. Ukiran-ukiran pada penji biasanya merupakan motif yang umum dijumpai pada kain tenun Sumba, yang mengindikasikan klan atau identitas dari mendiang yang terkubur.

Tiap kubur batu juga dapat menampung lebih dari satu orang. Biasanya, sepasang suami istri dikuburkan dalam satu kubur. Namun ada juga kubur batu yang dapat menampung hingga lima anggota keluarga, atau lebih dari itu. Kubur batu juga kebanyakan ditempatkan di halaman kampung untuk menjaga ikatan sakral antara mereka yang telah berpulang dengan keluarga yang ditinggalkan.

Dengan kebutuhan batu alam yang mahal dan sulit didapat, juga untuk mengumpulkan ratusan orang dan menjamu mereka dalam kenduri dengan puluhan hewan korban, seluruh proses untuk sebuah upacara kematian dan penguburan di Sumba dapat mencapai ratusan juta sampai 1 miliar rupiah.

Itulah mengapa banyak yang menunggu berbulan-bulan hingga puluhan tahun sebelum dapat memberikan pemakaman adat yang layak bagi mendiang anggota keluarganya. Banyak juga dari masyarakat Sumba saat ini yang beralih ke beton dan semen biasa untuk mempermudah pembangunan batu kubur.

Upacara kematian dan penguburan yang kompleks ini telah menjadi keunikan dan ciri khas dari Pulau Sumba. Proses pemakaman tradisional yang membutuhkan gotong royong dan kekerabatan yang amat tinggi ini juga mencerminkan nilai-nilai yang merupakan karakteristik masyarakatnya.

Setiap orang yang masih hidup harus berpartisipasi dalam rangkaian upacara kematian keluarga atau kerabat dekatnya. Dengan tiap doa dan ritual adat yang menghantarkannya menuju Prai Marapu, di mana mendiang anggota keluarga akan berkumpul dan berpesta dengan para leluhur dalam ketenangan yang abadi.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Pater Robert Ramone

Berkah dan Tumpah Darah

Ada banyak aspek menarik dari tradisi Sumba yang satu ini, yang membuatnya signifikan jika dibandingkan dengan tradisi Nusantara lainnya. Dalam tiap prosesinya, pasola melibatkan ratusan laki-laki berbusana adat Sumba, yang menunggangi kuda-kuda jantan yang dihias sedemikian rupa. Mereka terbagi ke dalam dua pasukan yang mewakili kampung adat masing-masing. Tiap kesatria berkuda ini bersenjatakan lembing kayu, yang kemudian dilempar ke arah pasukan lawan.

Beruntung jika lembing yang melesat bagai peluru bisa dihindari, atau ditangkis dengan putaran lembing yang juga bisa berfungsi sebagai perisai. Namun para penonton justru akan bersorak ramai ketika lembing tepat mengenai sasarannya. Membuat kesatria dari kubu lawan terjatuh dari kudanya, atau terluka hingga darah bercucuran dari tubuhnya. Tidak jarang peserta hampir kehilangan mata, atau menjadi cacat setelah mengikuti pasola. Bahkan, ada juga kejadian di mana peserta kehilangan nyawa di medan pasola.

Meskipun terlihat berbahaya dan penuh resiko, pasola telah menjadi identitas masyarakat Sumba bagian barat secara turun temurun. Pasola hanya dapat ditemukan di daerah Kodi yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya, serta di daerah Lamboya, Wanokaka, dan Gaura di Kabupaten Sumba Barat.

Nama ‘pasola’ sendiri diambil dari kata sola atau hola yang bermakna ‘lembing’. Ada juga yang berpendapat bahwa nama itu berasal dari kata ghola, bahasa Kodi yang bermakna ‘kejar’. Dan pasola, memang tampak seperti perang persahabatan antar dua pasukan berkuda yang saling mengejar dan saling melempar lembing.

Pada dasarnya, pasola adalah puncak dari salah satu ritual adat Marapu, kepercayaan setempat yang praktiknya masih dapat ditemukan dengan mudah di seluruh Pulau Sumba. Pasola dapat disaksikan hanya sekali dalam setahun, yaitu menjelang musim tanam padi di bulan Nale Bokolo dalam kalender Sumba, yang biasanya jatuh pada bulan Februari atau Maret.

Hanya para rato, atau tetua adat dan petinggi Marapu, yang dapat menentukan kapan tepatnya pasola dapat diselenggarakan. Para rato harus melakukan berbagai ritual adat dan membaca tanda-tanda alam sebelum pasola dapat terlaksana. Salah satu penandanya adalah munculnya nyale, semacam cacing laut, yang dapat ditemukan di pantai-pantai barat dan selatan Pulau Sumba.

Berbagai ritual yang dilakukan sebelum dan setelah pasola merupakan ritual adat yang sakral dalam kepercayaan Marapu. Pasola sendiri sebenarnya adalah bentuk penghormatan pada arwah leluhur maupun Sang Pencipta, di mana para penganut kepercayaan Marapu memohon pengampunan, menyampaikan rasa syukur dan berdoa untuk kemakmuran. Tiap tetes darah kesatria maupun kuda yang jatuh di medan pasola, dianggap sebagai persembahan yang akan membantu kesuburan tanah. Semakin banyak darah, semakin banyak juga hasil panen maupun ternak yang dapat diperoleh nantinya.

Pasola yang berujung fatal memang sudah cukup langka saat ini. Konon, pasola hanya akan memakan korban jika terdapat pelanggaran tabu atas kepercayaan Marapu. Masyarakat setempat percaya bahwa tiap luka yang didapat saat pasola merupakan ganjaran atas perilaku buruk yang pernah mereka lakukan. Luka-luka saat pasola juga melambangkan kepahitan dan penderitaan hidup yang harus dilewati sebelum mencapai keberhasilan di waktu panen nanti.

Ada beberapa versi cerita mengenai asal-usul terjadinya pasola. Menurut cerita rakyat di Kabupaten Sumba Barat Daya, pasola berkaitan dengan Inya Nale, dewi kesuburan yang konon muncul di Pantai Kodi dan menjelma menjadi nyale. Inya Nale menyelamatkan masyarakat dari kelaparan dan peperangan yang berkepanjangan, sehingga pasola dirayakan sebagai bentuk rasa syukur terhadapnya.

Masyarakat di Kabupaten Sumba Barat memiliki cerita yang berbeda. Mereka percaya bahwa asal muasal pasola adalah cerita tentang sosok Umbu Dulla dari kampung Waiwuang dan Teda Gaiparona dari kampung Kodi, yang sama-sama memperebutkan seorang wanita cantik bernama Rabu Kaba. Agar tidak muncul dendam yang berkepanjangan, diadakanlah sparring atau duel antar kampung yang seterusnya berlanjut dan berkembang menjadi tradisi pasola.

Pasola sendiri dapat dilihat sebagai salah satu extreme sport asli Indonesia. Para kesatria yang berpartisipasi dalam pasola harus memiliki keahlian dalam berkuda. Mereka harus memacu kuda dan menjaga keseimbangan tubuh mereka saat melempar lembing, atau menghindarinya.

Ditambah lagi, mereka harus memilih kuda yang cepat dan berani untuk dapat menghadang lembing-lembing yang berhamburan. Tidak sedikit kuda menjadi takut sehingga lari menjauhi medan pasola. Para kesatria juga harus memiliki ketangkasan dengan lembing, untuk dapat melemparnya dengan kuat dan cepat agar bisa mengenai sasaran yang terus bergerak.

Tiap peserta pasola juga harus mentaati beberapa aturan adat. Mereka tidak boleh menggunakan lembing yang tajam, menyerang lawan yang sudah terjatuh dari kuda atau menyerang lawan yang memunggungi mereka. Lembing yang sudah terlempar atau terjatuh ke tanah tidak boleh diambil atau digunakan kembali. Dan para kesatria pasola, dilarang untuk membawa dendam maupun masalah pribadi ke medan pasola.

Tidak ada medan pasola yang sepi penonton. Pasola selalu disaksikan oleh seluruh kabisu, klan atau kampung, yang sedang bertanding saat itu. Keseruannya selalu dapat mengundang spektator dari manapun, di mana masyarakat datang dari kampung dan daerah lain hanya untuk menonton dan meramaikan acara pasola. Sejak dulu, tradisi ini memang selalu menjadi media pemersatu masyarakat Sumba. Memupuk persahabatan dengan kampung seberang, serta ajang bagi rekan kerabat berkumpul dan bersilaturahmi.

Keunikan utama pasola sebagai tradisi asli Indonesia terdapat pada begitu banyaknya nilai yang terkandung di dalamnya. Ritual adat pasola mencerminkan nilai persaudaraan, seni, budaya, olahraga, hiburan, hingga keagamaan. Bagi penganut Marapu, pertumpahan darah yang terjadi di medan pasola justru dapat membuahkan berkah.

Bagai pepatah ‘mati satu tumbuh seribu’, kematian dipercaya mampu melahirkan kehidupan dalam bentuk yang lain. Pertumpahan darah yang dapat membantu kesuburan tanah, panen yang melimpah ruah, dan kemakmuran hidup yang terus dapat disyukuri bersama sebagai masyarakat Sumba. Semua hal itulah yang membuat pasola spesial, sebagai salah satu kekayaan budaya yang menunjukkan ragam Nusantara.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Pater Robert Ramone

Derita Masa Lalu, Harta Masa Depan

Walau menyimpan sejuta pesona keindahan, alam di Pulau Sumba masih dikenal sebagai tanah yang kering dan tidak subur. Hamparan sabana dengan sedikitnya pepohonan menjadi pemandangan yang umum di Sumba, terutama di Sumba bagian timur. Padahal di balik kesannya yang tandus, pulau ini sebenarnya memilki kekayaan alam yang istimewa dan berpotensi.

Tidak hanya dalam keanekaragaman hayati dua taman nasionalnya, atau potensi wisata dari keindahan pantai-pantainya. Alam di Pulau Sumba juga menjadi spesial berkat salah satu pohon termahal di dunia yang tumbuh di sana, yaitu pohon cendana.

Gugus kepulauan Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu konsentrasi budidaya cendana (Santalum album Linn) di Indonesia, terutama di Pulau Timor dan Pulau Sumba. Cendana memiliki banyak kegunaan, mulai dari penyedap makanan, aromaterapi, hingga menjadi salah satu bahan untuk pembuatan sabun, kosmetik, dan parfum. Cendana juga dipercaya dapat membantu mencegah kanker dan mengobati berbagai jenis penyakit seperti asma, peradangan, dan penyakit kulit.

Minyak dan kayu cendana telah menjadi komoditas utama Sumba sejak dahulu kala, dan cendana-cendana dari Sumba dan Timor dulunya merupakan cendana dengan jenis dan kualitas terbaik di dunia. Hal tersebut menjadi salah satu daya tarik bagi Portugis dan Belanda untuk menancapkan kekuasaannya di kedua pulau ini. Cendana memang menjadi salah satu pemicu penderitaan masyarakat di zaman kolonial, di mana pada masa itu, cendana dari wilayah ini diekspor dalam jumlah besar ke Eropa, Arab dan Cina.

Menurut cerita, dulunya hutan cendana dengan pohon-pohon cendana yang menjulang tinggi banyak memenuhi Pulau Sumba. Namun eksploitasi yang berlebihan telah mengurangi jumlah pohon cendana dengan signifikan. Bahkan, pada tahun 1987 hingga 1997, penurunan jumlah cendana di wilayah Nusa Tenggara Timur merosot hingga 50%. Hal ini membuat International Union for Conservation of Natural Resource (IUCN), lembaga internasional yang bergerak di bidang konservasi sumber daya alam, mendaftarkan cendana di Indonesia ke dalam kategori spesies yang terancam punah.

Saat ini, semangat untuk mengembalikan kejayaan cendana mulai tumbuh di Sumba. Cendana merupakan salah satu komoditas yang digalakkan pemerintah setempat. Masyarakat yang membudidayakan cendana di pekarangan rumah atau kebun keluarga juga semakin bertambah.

Cendana adalah tumbuhan dengan masa panen yang cukup lama, yang idealnya baru bisa dipanen setelah belasan hingga puluhan tahun. Namun masyarakat di Pulau Sumba percaya bahwa cendana-cendana muda yang sekarang masih kecil, akan menjadi investasi besar untuk anak cucu mereka. Saat ini cendana memang menyimpan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Dengan harga satu pohon yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Cendana memang selalu melekat dengan Pulau Sumba. Jika Anda berkesempatan melihat peta-peta lama, terutama yang dibuat oleh bangsa Eropa, mungkin Anda akan menemukan nama ‘Sandalwood Island’ tertulis di atas ilustrasi Pulau Sumba.

Sandalwood adalah cendana, dan Sandalwood Island adalah nama dari bangsa Eropa untuk Pulau Sumba. Setelah kemerdekaan, nama itu berkembang menjadi ‘Nusa Cendana’ yang kini melekat sebagai salah satu julukan dari pulau ini.

Meski mengingatkan cerita pahit akan kolonialisme, cendanalah yang dulu meletakkan keberadaan Pulau Sumba di peta-peta kuno dunia. Dan dengan tunas-tunas yang kini mulai tumbuh kembali, mungkin nantinya cendana jugalah yang kembali melambungkan nama Sumba di mata dunia, selain mengangkat masyarakatnya menuju kesejahteraan yang lama dinantikan.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Ketika Tradisi Menjadi Inspirasi

Selesai menjelajah keindahan alam dan budaya di Sumba, menandakan saatnya belanja oleh-oleh atau kenang-kenangan. Dengan potensi wisata yang semakin ramai mengundang turis, masyarakat di Pulau Sumba juga semakin giat mengembangkan berbagai kerajinan. Mulai dari kain tenun Sumba yang penuh warna, hingga katopo atau parang tradisional yang beragam bentuknya.

Pernak-pernik Sumba juga menjadi salah satu pilihan cinderamata yang paling umum. Selain sederhana dan praktis untuk dibawa, keunikan dari pernak-pernik Sumba juga terdapat di bentuknya yang terinspirasi dari tradisi dan budaya setempat.

Contoh bentuk tradisi Sumba yang tertuang dalam cinderamata setempat adalah mamuli dan lulu amah. Entah itu sebagai motif pada kain-kain tenun atau pada relief yang terpahat di kubur batu, mamuli adalah bentuk yang paling umum dijumpai di segala aspek kerajinan di Sumba.

Mamuli pada dasarnya adalah perhiasan dari emas atau perak yang berbentuk seperti vulva wanita. Seperti bentuknya, mamuli melambangkan kewanitaan dan kesuburan. Sandingan mamuli terdapat pada lulu amah, semacam tali yang juga terbuat dari emas atau perak, dan dianggap sebagai simbol kejantanan.

Sejak dulu, mamuli dan lulu amah yang terbuat dalam berbagai ukuran ini merupakan bagian terpenting dalam belis, mahar atau mas kawin dalam pernikahan. Mamuli sering diwariskan secara turun temurun dan dipercaya sebagai penghubung ikatan dengan para leluhur.

Bahkan tidak jarang mamuli dijadikan salah satu bekal kubur sebagai benda pusaka keluarga. Namun saat ini, bentuk mamuli juga diaplikasikan di pernak-pernik yang terbuat dari kuningan dan tembaga, sebagai cinderamata yang berupa kalung, anting atau bros.

Di Sumba juga terdapat beberapa kerajinan yang terbuat dari bagian tubuh hewan, seperti tanduk dan tulang kerbau. Sisir tradisional Sumba atau haikara bahkan terbuat dari cangkang penyu, yang diukir dengan motif-motif yang juga sering dijumpai pada kain tenun Sumba. Para wanita Sumba biasanya menancapkan haikara di rambut mereka pada upacara adat atau kegiatan formal lainnya, sehingga haikara terlihat bagai tiara yang memahkotai para wanita Sumba.

Cinderamata menarik lainnya yang dapat Anda temui di Sumba adalah walaona dan anahida, manik-manik tradisional yang awalnya difungsikan sebagai aksesoris pengantin. Ada juga tongal, dompet atau tas kecil yang terbuat dari kayu, dan biasanya dililitkan di pinggang para lelaki.

Semua kerajinan tersebut dapat Anda temui di pasar-pasar tradisional maupun desa-desa adat di Sumba. Pernak-pernik yang tidak hanya menarik, namun juga mencerminkan bagaimana masyarakat Sumba mampu mengembangkan nilai-nilai tradisi menjadi suatu komoditas yang turut menunjang perekonomian setempat. Jika Anda berwisata ke Sumba, jangan lupa untuk membawa pulang satu atau dua dari kerajinan ini, sebagai pengingat akan keramahan dan kearifan lokal dari masyarakat di Pulau Sumba.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Pembicaraan seputar kekayaan ragam di Nusantara tidak pernah luput dari pembahasan akan cita rasa kulinernya. Sabang hingga Merauke, tiap daerah dan suku bangsa di Indonesia memiliki masakan khas yang menambah daya tarik wisata daerah setempat, juga menjadi santapan sehari-hari masyarakatnya. Begitu juga dengan Pulau Sumba yang memiliki sejumlah masakan khas yang nikmat dan menggugah selera.

Berikut ini adalah sejumlah santapan kuliner yang dapat Anda coba di berbagai belahan pulau yang juga dijuluki Nusa Cendana ini.

Nga’a Watary Patau Kabbe

Nga’a Watary Patau Kabbe adalah sajian nasi jagung dengan campuran beberapa jenis kacang-kacangan. Nasi jagung ini telah menjadi salah satu makanan pokok masyarakat Sumba bahkan NTT. Dalam pembuatannya, jagung yang sudah digiling dengan kacang-kacangan seperti kacang merah, dicampur dan dimasak bersamaan dengan nasi putih. Masyarakat Sumba sendiri menikmati nasi jagung ini dengan lauk pauk lainnya seperti aneka sayur berkuah dan ayam. Nasi ini tentu sangat menarik untuk dicoba karena banyak mengandung gizi yang baik dan berenergi untuk Anda yang sedang dalam perjalanan.


Rumpu Rampe

Rumpu Rampe atau sayur daun pepaya merupakan sayuran kaya serat yang sering dikonsumsi masyarakat Sumba. Sayuran ini diolah dengan mentumis campuran bunga pepaya, daun pepaya, daun singkong, jantung pisang, cabai, dan bumbu dapur lainnya. Walau terdiri dari daun dan bunga pepaya, sayuran ini tidak terasa pahit karena bumbu-bumbu yang telah menyerap ke dalam sayur telah menetralisir rasa pahitnya. Hidangan ini adalah salah satu menu wajib dalam pesta masyarakat Sumba. Jadi bagi kalian yang belum pernah mencoba bunga pepaya atau jantung pisang, wajib mencicipi sayur Rumpu Rampe ini.


Daun Ubi

Daun ubi menjadi salah satu sayur yang banyak kita temui di Nusantara. Namun perbedaannya dengan daun ubi yang ada di pulau Sumba ini, sayur daun ubi di sini ditumbuk bersamaan dengan beras lalu direbus menggunakan kuah santan, yang menjadikannya bertekstur kental. Penggabungan beras dan daun ubi inilah yang membuatnya berbeda, dengan rasa nikmat gurihnya kuah santan yang melebur di lidah saat menyantapnya. Daun ubi ini sangat cocok untuk disantap bersama dengan nasi jagung.


Manu Pata’u Ni

Manu Pata’u Ni adalah penyebutan untuk santapan berupa ayam kampung yang dimasak hingga empuk dengan campuran kuah santan. Sajian ayam ini menjadi salah satu menu yang disuguhkan kepada tamu yang datang. Masyarakat Sumba biasanya menyajikan dengan memberikan ayam utuh yang telah dimasak menjadi Manu Pata’u Ni kepada tamu. Ketika dihidangkan, salah satu bagian ayam diserahkan kembali kepada tuan rumah, dan sebagian lagi bisa dinikmati oleh tamu. Budaya ini dimaknai agar manusia dapat saling menghargai satu sama lain dan tidak menyisakan makanan agar rezeki berjalan lancar.


Sup Ayam Waingapu

Rasa asam yang menyegarkan dengan daging ayam empuk, beserta irisan tomat, belimbing wuluh, dan daun kemangi membuat menu ini memiliki cita rasa yang berbeda dari sup ayam lainnya. Kombinasi antara kaldunya yang gurih dan asamnya yang menyegarkan akan membuat kita terus teringat akan cita rasanya. Sup ayam ini wajib kalian coba saat mengunjungi Pulau Sumba.


Manggulu

Manggulu atau dikenal juga sebagai dodol Sumba merupakan makanan khas dari Sumba Timur yang terbuat dari pisang, gula merah, dan kacang tanah. Bentuknya panjang dan dibungkus daun pisang atau daun lontar. Rasa manis dan asam menjadi ciri khas makanan ini. Proses pembuatannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Pisang perlu dijemur selama 3 hari, kemudian ditumbuk dan dicampurkan ke dalam gula merah beserta kacang tanah yang telah disangrai. Makanan ini memiliki sejarah dengan masa kolonial Belanda, di mana para pasukan tentara memakan Manggulu yang memiliki rasa manis untuk menahan lapar.


Kadapet Watara

Kadapet Watara merupakan kue kering khas Sumba yang terbuat dari jagung, pisang dan kacang tanah, yang dibungkus dengan daun jagung. Selain menjadi makanan ringan rumahan maupun menjadi salah satu hidangan dalam upacara adat, makanan ini telah berkembang menjadi oleh-oleh khas Sumba. Adonan yang berbentuk bulat dan dibungkus rapi mempermudah kita untuk membawanya dengan amat praktis. Sekilas makanan ini terlihat seperti wajik, dengan rasa gurih dan juga manis. Bagi kalian yang berkunjung ke Sumba jangan lupa untuk mencoba makanan tradisional yang satu ini, atau menjadikannya sebagai oleh-oleh untuk keluarga yang menanti di rumah.

Artikel : Ibna Alfattah | Foto : Travelinkmagz