Tangis dan Tawa Dalam Lantunan Syair

Lengkingan syair nan merdu dari seorang ceh (pemimpin didong), memecah keheningan malam yang dingin di Takengon. Bait demi bait syair yang ritmis menghantarkan cerita yang menyentuh hati tentang Tanoh Gayo. Perlahan, para penunung (pengiring didong) yang duduk bersama ceh dalam formasi lingkaran, mulai mengiringi nyanyian sang ceh dengan tepukan tangan, atau tepukan di atas bantal kecil dalam berbagai variasi tepukan. Tepukan-tepukan itu menjadi semakin cepat seiring berjalannya lagu, untuk diakhiri dengan hentakan serempak yang menggetarkan para pendengarnya.

Sebuah orkestrasi yang tampak sederhana, namun kemeriahan irama yang dihasilkannya akan membuat Anda ikut bergoyang mendengarnya. Bagi yang mengerti bahasa Gayo, akan tergerak oleh kesyahduan syair yang dilantunkan oleh tiap ceh. Antara menitikan air mata merenungi pesan lirih yang terkandung di dalamnya, atau justru tertawa terpingkal-pingkal karena guyonan di dalamnya. Itulah gambaran kecil dari didong, salah satu kesenian tradisional yang paling digemari dalam masyarakat Gayo.

Didong adalah gabungan seni sastra lisan dengan seni suara yang mengakar dalam masyarakat Gayo, khususnya di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Umumnya, didong dimainkan oleh 20-30 orang yang tergabung dalam sebuah kelompok didong, dan dipimpin oleh seorang ceh yang juga menjadi penyair utama dan pengarang dari lagu-lagu yang dibawakan.

Didong memiliki sejarah panjang dalam mempersatukan dan membangun masyarakat Gayo dari masa-masa sulit. Pada mulanya, didong merupakan media dakwah yang berkembang menjadi hiburan masyarakat. Karena selalu bisa menarik perhatian, banyak pembangunan masjid, jalan, atau jembatan yang dapat terlaksana berkat penggalangan dana lewat acara didong. Pesan-pesan yang terkandung dalam lirik didong juga menyebarkan semangat perjuangan di masa penjajahan. Didong juga berfungsi sebagai media informasi yang menyebarkan berita terbaru sebelum adanya radio maupun televisi.

Seorang ceh juga diharuskan memiliki ketangkasan berbalas syair, terutama pada saat didong jalu atau ‘adu didong’. Layaknya berbalas pantun, dua kelompok didong akan ber-didong secara bergantian. Membalas serangan dan sindiran yang tersahut dalam syair kelompok lawan, seperti rap battle dalam budaya hip-hop Amerika. Perlombaan didong jalu dilakukan semalam suntuk dan selalu ramai mengundang gelak tawa penonton. Mulai dari penonton yang ingin mendukung kelompok didong favoritnya, atau penonton yang sekedar mencari hiburan tengah malam.

Saat Anda ke Tanoh Gayo, sempatkan untuk menyaksikan keseruan pertandingan didong yang umum dijumpai di acara-acara desa. Sebuah seni sastra yang kaya akan perasaan yang akan selalu mampu untuk menghadirkan kesenduan atau senyuman bagi masyarakat Gayo manapun yang menyaksikannya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Tanoh gayo

Paradoks dalam Sesulang Sopi

Diproduksi ditengah-tengah hutan dengan cara tradisional yang amat sederhana, yaitu dengan mengambil air nira dari pohon aren (sageru dalam bahasa Maluku) yang kemudian disuling dengan suhu panas. Uapan air dari proses tersebutlah yang menghasilkan sopi, minuman khas Maluku yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakatnya sebagai lambang kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan. Namun, sopi adalah minuman yang masih dipandang ilegal oleh pemerintah.

Kata ‘sopi’ sendiri berasal dari kata zoopje, Bahasa Belanda yang berarti alkohol cair. Minuman ini memiliki kadar alkohol rata-rata di atas 30%, dan dijual di banyak kios-kios kecil yang tersebar di Maluku. Sampai saat ini sopi adalah elemen penting dalam budaya Maluku yang sering dijumpai dalam keseharian masyarakatnya. Mengingat melimpahnya pohon aren di Maluku, maka hampir di setiap upacara adat sopi selalu tersedia layaknya sake dalam budaya masyarakat Jepang.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy

Tarian yang menggambarkan sukacita setelah meraih kemenangan perang dari Desa Oirata. Dengan perlengkapan seperti pedang dan tombak serta topi yang terbuat dari bulu ayam, tarian ini ditampilkan oleh kaum pria yang berpasang-pasangan yang diakhiri dengan adegan duel diantara keduanya.

Kegagahan dan keberanian masyarakat Maluku Barat Daya tercermin dari Tari Kerpopo yang juga dikenal sebagai tari perang, jenis tarian yang banyak dijumpai di daerah timur Indonesia.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Istimewa

Saat memasuki masa panen, masyarakat lokal wajib mengucap syukur kepada para leluhur dan dengan diiringi sebuah tarian yang dilakukan dengan tujuan menunjukan keceriaan setelah panen yang mereka tunggu akhirnya tiba dan membuahkan hasil. Tarian ini umumnya ditemukan di lingkungan masyarakat di Pulau Letti.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : Istimewa

Memintal Kemewahan dari Kesederhanaan

Seperti dalam banyak suku bangsa lainnya di tanah air, peran kain di Maluku Barat Daya bukan hanya sekedar untuk pakaian sehari-hari. Tenun Adat di Maluku merupakan suatu simbol kehormatan sekaligus identitas yang telah mendarah daging. Sebut saja tenun Senikir yang merupakan elemen penting dalam acara adat seperti penyematan gelar atas tokoh terhormat. Di Pulau Moa, acara-acara adat seperti proses penyematan tamu atau tokoh terhormat, berlangsung dengan tenun khas yang dipercaya sebagai peninggalan leluhur yang turun temurun di gunakan dalam acara adat maupun kenegaraan.

Lebih dari itu, tenun Maluku adalah cerminan dedikasi masyarakat Maluku dalam meneruskan proses pelestarian tradisi nenek moyang yang berawal sejak ratusan tahun yang lalu dan berlanjut hingga saat ini. Tenun ikat di Maluku Barat Daya berperan sebagai tiang di banyak aspek keseharian penduduknya. Sebagai penyelimut jenazah, ia menjadi doa akan ketenangan. Sebagai mahar pengantin, ia menjadi bentuk harapan akan kebahagiaan berumah tangga. Semua itu diawali dari dedikasi para ibu di gubuk-gubuk kecil di Maluku, seolah memintal helai demi helai doa untuk keluarganya.

Artikel : Iqbal Fadly | Foto : George Timothy